Bab Sebelas

13.4K 1.5K 99
                                    

Kirana

Agam pasti positif gila. Aku berencana untuk mengajaknya pergi ke psikiater kapan-kapan jika aku sudah memiliki nyali untuk menemuinya lagi. "Anggap gue nggak pernah meluk lo kayak gini" katanya? Satu chat "hati-hati"nya saja kadang bisa membuatku susah tidur, sekarang dia justru memintaku untuk melupakan pelukan eratnya itu? Sudah gila, kali. Kecuali aku terserang amnesia mendadak – amit-amit, jangan sampai lah – aku yakin seratus persen pelukannya waktu itu akan terus membayangi benakku.

Sementara rekan-rekan kerjaku yang lain dapat dengan tenang menikmati liburan mereka, aku justru mendapat ketenangan saat liburan hampir usai. Yah, susah memang jika terjebak friendzone dengan tetangga sendiri. Ingin keluar rumah, harus lihat rumahnya. Ingin santai sambil menikmati angin sepoi-sepoi dari balkon, mau tak mau juga harus melihat rumahnya. Akhirnya, daripada aku gila karena tak kunjung bisa melupakan pelukan sialan itu, aku memutuskan untuk balik ke apartemen Kak Saras tiga hari sebelum liburan usai.

Untung Agam tahu diri. Cowok itu sama sekali nggak menghubungiku, baik lewat telpon maupun lewat chat-chat singkat. Agam memang masih menyempatkan diri untuk tersenyum ketika kami tak sengaja beradu pandang di depan rumah. Tapi begitu aku melengos, sok-sok nggak melihatnya, akhirnya dia juga bertingkah sama denganku.

"Oh, mau cari Bu Kirana? Masuk aja, Mas."

Aku refleks mengangkat kepala ketika mendengar namaku disebut. Sosok yang tak asing muncul dari balik pintu, membuat keningku bertaut. Reza. Untuk apa bocah itu datang kemari?

"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku langsung ketika Reza sudah berdiri tepat di depan mejaku.

"Ibu kok sensi banget kayaknya sama saya?" tanya Reza balik. Wajahnya sok polos, padahal aku tahu hatinya sedang tersenyum tengil. Kalau dilihat-lihat, bocah ini mirip sekali dengan kakaknya. Sama-sama ganteng dan jail. "Ini Bu... Si Abang nitip, katanya ini punya Bu Kirana yang ketinggalan pas main ke rumah."

Reza mengambil sesuatu dari saku celananya, membuatku hampir memekik ketika mengetahui isinya. Itu kuncir rambut kumal kesayanganku sejak kuliah! Pantas dari kemarin kucari-cari nggak ada. Ternyata tertinggal di rumah Resha.

"Makasih ya. Saya pikir hilang, soalnya dari kemarin saya cari-cari nggak ada," ujarku akhirnya. "Gimana si Katy? Dia nggak bandel, kan?"

"Enggak, Bu. Tenang. Banyak bodyguard-nya kalau si Katy mah." Reza cengengesan. "Saya duluan ya, Bu."

Aku mengangguk, membiarkannya pergi sementara aku menyimpan kembali kunciranku. Kunciran yang dibeli Agam beberapa tahun yang lalu itu.

Aku masih ingat, hari itu, Agam berjanji mengajakku jalan seharian karena dia telah berhasil menyelesaikan skripsinya. Dia sudah bawel banget sejak pagi, terus-terusan menerorku agar jangan sampai terlambat kalau tidak mau terkena macet, yang akhirnya membuatku melupakan rambutku yang belum kuikat.

Dulu, aku hampir selalu mengikat rambut. Gerah banget rasanya kalau rambut nggak diikat. Jadi ketika menyadari bahwa rambutku masih belum diikat, aku jadi kesal dan ingin melampiaskan emosiku pada siapapun yang berada di dekatku. Agam, yang saat itu kebetulan berada di dekatku menjadi sasaran empuk bagi emosiku yang sedang meletup dan mendesak untuk dikeluarkan.

"Coba kalau tadi lo nggak buru-buru, pasti gue nggak bakal kelupaan pakai kuncir!" omelku ketika kami sudah berjalan di trotoar kota tua. "Nggak enak banget rasanya nggak pakai kuncir..."

Agam menghela napas. "Kenapa emang kalau nggak pakai kuncir?"

"Ya gerah, terus nggak enak gitu rasanya...," keluhku. "Coba lo tanya Fanny kenapa dia suka banget pakai kuncir. Pasti jawabannya sama banget kayak gue."

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang