Bab Tiga

15.3K 1.5K 79
                                    


Kirana

Aku sudah dua kali mengikuti acara classmeeting di sekolah tempatku mengajar, dan harus kuakui, kedua-duanya memang mengasyikkan. Jika para pegawai kantoran biasanya bisa melihat mas-mas berjas atau berkemeja yang menggoda iman sedang seliweran di trotoar depan kantor, maka sebagai guru, aku juga dapat mencuci mata dengan melihat anak-anak didikku yang sedang berkeringat selepas mereka bermain basket.

Memang nggak menggoda iman, sih. Tapi lumayan, setidaknya mataku bisa segar melihat pemandangan indah setelah seharian berkutat dengan nilai-nilai yang belum selesai kurekap.

"Assalamualaikum Bu Kirana..."

Kualihkan pandanganku pada asal suara itu. Di sampingku, salah satu anak didikku sedang mengerling jail ke arahku, membuatku mendelik galak. Bocah ingusan itu adalah Reza. Tipe-tipe murid pembuat onar yang digemari para cewek, tapi dibenci para guru, termasuk aku. Bocah ini juga jadi sering menggodaku sejak... Kami bertemu di sebuah club. Bukan, bukan club biologi atau klub matematika. Club yang kumaksud di sini adalah club tempat di mana orang-orang bisa berjoget sampai lelah.

Jangan salahkan aku. Salahkan saja Tari, sahabatku yang entah kenapa waktu itu bersikeras mengajakku ke club dan mengancam akan pergi sendiri walaupun aku tidak menemani. Seharusnya aku biarkan saja dia pergi ke club sendiri. Aku tahu dia tidak akan berani. Tapi, berkat sifat khawatirku yang berlebihan, akhirnya aku turuti juga permintaan Tari.

Club yang dipilih Tari untuk berhura-hura benar-benar ramai saat itu. Musik, lampu disko, bahkan goyangan orang-orang di sana pun benar-benar heboh. Aku tak habis pikir mengapa tiba-tiba otak Tari berubah gesrek dan memaksaku untuk ikut-ikutan gesrek bersamanya.

Saat aku baru duduk di salah satu kursi yang ada di sana, mataku tak sengaja menangkap sosok Reza. Sialnya, bocah itu juga sedang menatapku. Cengiran lebar langsung muncul di mukanya. Dari tempatku duduk saat itu, dapat kulihat dia sedang berpamitan pada teman-temannya dan berjalan... ke arahku.

"Bu Kirana juga ke sini?"

"Eh – iya," jawabku salah tingkah. Sumpah, aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya tetap mengangkat martabatku sebagai seorang guru ketika aku bertemu dengan muridku di sebuah club, sementara anak didikku, dengan sangat kurang ajarnya sudah tersenyam-senyum di depanku. "Kenapa kamu bisa ke sini? Ini cuma buat orang yang sudah cukup umur."

"Saya cukup umur, kok." Sahut Reza. "Yang saya mau nanya... Ngapain Ibu ke sini?"

Aku bisa merasakan mukaku memerah. Anjir, ke-gap murid sendiri! Padahal ini pertama kalinya aku masuk ke club. Dulu aku memang pernah tergoda, tapi tidak sampai benar-benar memasukinya.

Aku masih terdiam, sampai beberapa saat kemudian Reza kembali berkata, "Bu... Kasih kisi-kisi Biologi lah, Bu... Nanti kalau Ibu kasih saya kisi-kisi biologi, saya jamin rahasia Ibu aman di tangan saya."

Aku berdecak. Saat itu aku sedang menghukum anak kelas Reza karena ulah mereka yang benar-benar keterlaluan dengan tidak memberi mereka kisi-kisi untuk ujian tengah semester. "Kamu juga bisa saya laporkan karena masuk ke sini."

Reza memiringkan kepalanya, senyum geli tercetak jelas di wajahnya. Astaga. Kalau tidak ingat bahwa aku adalah seorang guru yang harus bisa bersikap sempurna di hadapan para muridnya, bocah di depanku ini pasti sudah kutampar.

"Oke, oke." Kuhela napas panjang. "Nanti saya kasih kisi-kisinya ke kamu."

Reza tersenyum penuh kemenangan setelah itu, membuatku harus menahan diri untuk tak mencakar wajahnya. Tapi yah, sedikit banyak aku memang berhutang terima kasih pada bocah itu. Dia yang menyebabkanku bersumpah pada diriku sendiri agar tidak akan pergi ke club lagi setelah itu.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang