Bab Empat

13.5K 1.7K 139
                                    


Kirana

"Sori deh, Kir. Besok gue traktir, sekarang lo sama Pak Bandi aja dulu, ya?"

Aku menghela napas. Agam baru saja menelpon dan mengatakan kalau dia tak bisa datang menjemputku karena harus menjemput Fanny dulu di kantornya. Padahal aku harus cepat-cepat pulang karena hari ini Mama mengadakan acara reuni bersama teman-teman kuliahnya di rumah. Padahal tadinya Agam sudah berjanji akan pulang lebih awal dan menemaniku untuk beres-beres rumah.

Tapi pacarnya memang harus jauh lebih diutamakan ketimbang sahabatnya, kan?

"Ya udah, gue pesan uber aja kalau gitu. Nggak usah lo pesanin Pak Bandi, deh. Mahal. Ntar lo bangkrut, nggak bisa traktir gue lagi, kan repot."

Aku bisa mendengar decakan Agam dari sana. "Otak lo itu nggak pernah jauh-jauh dari gratisan, ya?"

"Oh, jelas dong. Gue kan calon istri sholihah yang bisa mengatur keuangan dengan baik dan benar."

"Pret. Istri sholihah nggak suka malakin anak orang."

Aku mendelik. "Berisik, lo. Gue matiin deh. Bye!"

Selesai mematikan sambungan telpon itu, aku segera bergegas membereskan tas dan pergi keluar sekolah, menunggu taksi yang sudah kupesan. Sebenarnya aku sudah benar-benar terlambat. Mama sudah mewanti-wanti agar aku sampai di rumah sebelum pukul empat, padahal sekarang sudah lewat pukul tiga. Dari tempatku bekerja, perjalanan agar sampai ke rumah bisa memakan waktu sampai satu jam.

Dalam rangka merayakan ulang tahun Mama yang ke-57 – yang sebenarnya sudah lewat seminggu sejak hari H – Mama mengundang teman-teman kuliahnya untuk mengadakan reuni. Dan aku, sebagai anak yang baik, harus membantu untuk mempersiapkan acara reuni ini di rumah. Biasanya untuk acara-acara seperti ini, Kak Saras – kakak pertamaku – yang selalu siap membantu Mama. Tapi berhubung dia sudah menikah, akhirnya aku yang diberi tugas untuk berberes.

Untung saja jalanan tidak terlalu macet hari ini. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar empat puluh menit. Mama sudah sibuk berbenah ketika aku datang ke rumah.

"Assalamualaikum," kukecup telapak tangan Mama singkat. "Kirana bantu apa, Ma?"

"Kak Saras pulang, tuh. Kamu bantu kakak kamu nata makanan aja di dalam," jawab Mama setelah beliau menjawab salamku. "Jangan lupa cuci tangan dulu, Kir. Selesai nata makanan, jangan lupa mandi, pakai baju yang bagus. Yang wangi."

"Iya..." jawabku sambil tersenyum geli.

Mama selalu memperlakukan aku seolah-olah aku ini anak kecil. Yah, walaupun memang jika dibandingkan dengan Kak Saras, aku memang masih seperti anak kecil, sih. Tapi hey, jangan salahkan aku, dong. Salahkan saja Kak Saras yang terlalu dewasa. Perlakuan Mama ini terasa menyebalkan pada awalnya – ya siapa yang nggak bakal sebal jika dianggap sebagai anak kecil di usia yang sudah kepala dua? – tapi kemudian Kak Saras menasihatiku dan mengatakan bahwa itu adalah salah satu tanda sayang seorang ibu. Aku mengiya-iyakan saja. Lagipula, setiap ibu memang mencintai anaknya, kan?

"Hei, Kak!" sapaku begitu kulihat Kak Saras sedang asyik menata makanan di dapur. Kak Saras menghentikan kegiatannya sejenak untuk tersenyum padaku. Kucium perutnya yang buncit dengan gemas. "Hi, baby. Aunty can't wait to see you."

Kak Saras hanya senyam-senyum melihat tingkahku. "Baru pulang, Kir?"

Kuangkat kepalaku dari perutnya, lalu mengangguk. "Udah berapa bulan nih, Kak?"

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang