Agam
Kirana terlelap di samping gue. Deru napasnya terdengar teratur. Dengan mata terpejam seperti ini, Kirana terlihat damai sekali.
Gue bersyukur dia tidur, jadi tidak perlu mendengar pertengkaran gue dan Fanny di telpon barusan.
Gue pertama kali bertemu Fanny delapan tahun lalu, ketika gue kelas dua belas SMA, dia kelas sebelas. Sore itu gue baru kelar latihan basket. Gue sedang bersiap-siap untuk pulang ketika seorang cewek mendekati gue, seperti ingin mengutarakan sesuatu namun takut.
"Uhm, Kak Agam, boleh bicara sebentar?" tanyanya akhirnya, setelah beberapa saat gue perhatikan dia hanya mondar-mandir di sekitar gue.
"Mau bicara apa?"
"Tapi nggak di sini, Kak. Di tempat yang agak sepi gitu... Bisa?"
Gue mengernyit bingung. Gue memang sering dimintai waktunya sebentar oleh orang-orang yang nggak gue kenal, karena semasa SMA, gue cukup aktif berorganisasi. Biasanya, mereka yang meminta waktu gue sebentar itu hanya akan meminta tanda tangan gue sebagai persetujuan proposal, atau apapun yang berbau organisasi, dan meminta tanda tangan jelas tidak perlu dilakukan di tempat sepi. Permintaan cewek di depan gue ini tentu tidak biasa, tapi demi kesopanan, akhirnya gue iyakan.
"Cieee... Agam dijemput cewek!"
"Wah, waaah... Kenalin dikit boleh kali!"
Teman-teman gue mulai bawel menyoraki ketika gue mengajak dia menuju lorong kelas yang cukup sepi.
"Wah, wah. Ngapain tuhhhh ke tempat yang sepi?"
Gue abaikan sorakan-sorakan nggak penting itu. Sudah kebal dibegitukan. Jika gue sedang dengan Kirana, cewek itu justru akan merangkul gue sok manja seperti layaknya pasangan-pasangan yang sedang kasmaran sambil tertawa-tawa, sengaja agar teman-teman gue semakin heboh menyoraki kami berdua. Tapi cewek yang di samping gue ini... Malah menunduk, dan mukanya jadi merah padam. Sampai nggak tega gue lihatnya.
"Eh, sori ya, teman-teman gue emang gitu. Suka bawel kalau liat gue bareng cewek," jelas gue.
Dia hanya balas dengan tersenyum.
"Jadi... Tadi mau ngomong apa?"
"Uhm..." Cewek itu mengulurkan tangannya pada gue. Seperti mengajak berkenalan. Pipinya bersemu kemerahan. "Kenalin Kak, aku Fanny, anak kelas sebelas. Aku udah memperhatikan Kak Agam dari lama banget, dan aku suka. Aku pengin kenal sama Kakak... Lebih dari sekadar teman. Kak Agam mau nggak jadi pacarku?"
Gue bengong.
Gue bahkan nggak kepikiran untuk menyambut uluran tangannya.
Lima kalimat yang dia lontarkan, dan jawaban yang bisa gue berikan cuma bengong. Iya, gue tahu sekarang ini sudah bukan zamannya lagi cewek menunggu cowok untuk mengutarakan perasaan. Sah-sah saja bagi cewek untuk confess duluan. Tapi mendengar cewek yang nggak pernah lo kenal sebelumnya, tiba-tiba tanpa ba-bi-bu bilang suka dan minta lo menjadi pacarnya... Rasanya gue pengin menghilang tiba-tiba aja.
Di depan gue, Fanny menunduk. Sesekali matanya mencuri pandang, menunggu jawaban.
Baru gue sadar gue nggak sepenuhnya asing dengan cewek yang barusan meminta gue jadi pacarnya itu. Gue sempat beberapa kali bertemu dia -- di lapangan waktu upacara hari Senin, kadang di kantin, kadang di parkiran -- dan ya, gue sadar dia selalu salah tingkah jika tatapan kami bertemu secara tidak sengaja. Jika dia sedang bersama dengan teman-temannya, mereka akan ribut menyoraki. Kadang juga didorong-dorong untuk mendekati gue, sampai gue kasihan melihatnya.
Gue menghargai keberaniannya, sungguh. Jarang sekali ada cewek yang berani menunjukkan perasaannya pada cowok lebih dulu, tapi cewek di depan gue ini berani. Keberaniannya jelas patut diapresiasi. Tapi gue nggak perlu menyetujui permintaannya untuk mengapresiasi keberaniannya, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
ChickLitKirana: Persahabatan antara cewek dan cowok itu bullshit kan? Kalau nggak percaya, lihat saja aku. Aku sudah menghabiskan hampir separuh hidupku dengan menyukai sahabatku sendiri. Resha: Mau tau apa yang paling membuat lo merasa diri lo memalukan? N...