Bab Tujuh

14K 1.5K 72
                                    

Kirana

"Akhirnya libur juga ya, Kir," ujar Hesti.

Kami sedang berjalan menuju ruang guru sekarang, bersiap-siap pulang setelah setengah hari bertugas membagikan rapot pada wali murid. Melelahkan, tapi sangat menyenangkan mengingat setelah ini kami bebas berlibur.

Aku mengangguk, membalas senyum sumringah Hesti. "Akhirnya, ya. Gue udah nunggu-nunggu liburan ini dari kapan tau. Datang juga akhirnya."

Hesti mengangguk setuju.

Hesti ini adalah salah satu temanku sesama guru di sekolah Cipta Harapan. Tak mudah memang mendapatkan teman untuk berhaha-hihi di sini. Kebanyakan guru CH adalah bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah memiliki anak bahkan cucu. Keberadaan Hesti benar-benar suatu berkah bagiku.

Aku membuka pintu ruang guru. Hesti membuntut di belakangku. Di dalam, guru-guru yang lain sudah riuh, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk membereskan meja karena akan ditinggal selama seminggu, ada juga yang masih asyik mengobrol – tak memedulikan mejanya yang masih dipenuhi lembar jawaban bekas ujian kenaikan kelas kemarin. Senyumku kembali tersungging melihat pemandangan di depanku. Euforia liburan memang selalu terasa menyenangkan.

"Eh Kir, sini, foto dulu kita sebelum liburan!" Bu Arin yang mejanya tepat berada di samping mejaku melambaikan tangannya begitu beliau melihatku. "Nanti saya upload!"

Aku tersenyum geli. Bu Arin baru membuat akun instagramnya minggu lalu, katanya agar dapat mengawasi pergaulan anaknya lewat sosial media. Tapi sepertinya, tujuannya sedikit berubah sekarang. Buktinya, sudah seminggu ini beliau jadi keranjingan foto bareng, yang dilanjutkan dengan munculnya nama beliau sebagai orang yang menandaiku di foto yang telah diuploadnya.

Efek sosial media memang hebat sekali, ya. Dengan keberanekaragaman pengguna yang terdiri dari murid sekolah dasar sampai nenek-nenek bercucu, para pengguna harus super hati-hati dalam menggunakannya. Tak jarang, niat awal yang baik jadi melenceng ketika sudah terpengaruh oleh para pengguna sosial media lainnya. Yang awalnya hanya ingin menjalin silaturrahim dengan teman-teman masa lalu, bisa jadi melenceng dan malah 'bersilaturrahim' dengan cinta masa lalu. Yang awalnya ingin menghabiskan quality time bersama orang-orang terkasih, tak jarang justru sibuk dengan upload sana-sini, lupa bahwa followers adalah orang-orang dari dunia maya yang tidak benar-benar mengenal kita.

Di meja Bu Arin, beberapa guru perempuan sudah berdiri, menungguku ikut bergabung dalam barisan. Aku melongo ketika melihat tongkat panjang yang sedang dibawa Bu Zara.

Tongsis?

"Orang-orang zaman sekarang memang kreatif ya Bu," ujar Bu ketika aku sudah berdiri di samping beliau. "Apa aja bisa jadi duit. Saya kaget lho waktu Bu Zara ngeluarin tongkat itu tadi. Kirain buat gebukin murid. Ternyata buat foto-foto."

Aku menyengir. Yah, wajar. Bu Lia kan memang sudah lumayan sepuh. Cucu pertamanya lahir sekitar tiga bulan yang lalu. Seorang nenek tidak seharusnya tahu hal-hal seperti 'tongsis' dan kawan-kawannya, kan?

"Geser ke kanan sedikit Bu Kirana," ujar Bu Zara. Perempuan berumur tiga puluh tahunan itu menggeser-geserkan tongsis, mencari sudut yang pas untuk memotret kami. "Biar kelihatan semua."

Aku menurut, menggeser posisi tubuhku agar dapat tertangkap kamera. Memang menyenangkan mendapatkan posisi foto di bagian paling ujung. Kita dapat menyelipkan sedikit bagian tubuh di belakang orang yang berada di samping kita, membuat tubuh kita terlihat lebih ramping daripada aslinya.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang