Kirana
"Kir, kamu kira-kira ada rencana buat pindah dari rumah nggak dalam waktu dekat ini?"
Kata-kata James Dashner yang sedang menari-nari di kepalaku spontan lenyap ketika mendengar pertanyaan Kak Saras. Aku dan Kak Saras sama-sama sedang berada di kasur – aku dengan novelku sementara Kak Saras dengan ponselnya – dan tiba-tiba dia menanyakan rencanaku untuk pergi dari rumah? Mengejutkan sekali.
"Hah?"
"Kemarin Kakak baru diskusi sama Kak Gilang..." Kak Saras memulai ceritanya. "Dia bilang, apa nggak lebih baik kamu pakai aja apartemen Kakak yang lama? Sekarang kan Kakak udah tinggal di rumah Kak Gilang, apartemennya nggak ada yang nempatin. Sayang banget, kan."
Aku diam, berusaha mencerna kata-kata Kak Saras.
"Lagipula, tempat kerja kamu kan lebih dekat dari apartemen Kakak daripada dari sini. Transportasinya juga gampang. Kamu bisa naik busway dari CH ke apartemen, jadi nggak perlu ngerepotin si Agam lagi."
Aku kembali diam.
Sejujurnya, dari segala penjelasan Kak Saras, yang paling kutangkap dan menancap lekat di otakku adalah beberapa kata terakhirnya. Jadi nggak perlu ngerepotin si Agam lagi. What the hell? Berhenti ngerepotin Agam berarti berhenti membuat mataku mencuci dirinya sendiri, dong?
Oke, kuakui, Agam memang nggak ganteng-ganteng amat. Satu sampai sepuluh, aku cuma berani memberikan nilai enam untuk penampilannya. Agam nggak mancung, kulitnya cenderung tanned, dan di dagunya sering timbul janggut tipis karena malas mencukur. Tapi entah kenapa, pemandangan Agam yang sedang menyetir mobil benar-benar dapat menyegarkan mataku. Dan helo, kalau aku tinggal di apartemen Kak Saras, kapan lagi aku bisa mencuci mata? Bisa-bisa mataku jadi sakit karena jarang dicuci.
Hati apa mata sih yang sakit, Kir? Cepat-cepat kutepis pemikiran bodohku itu. Dua-duanya, lah. Pakai nanya, lagi!
"Lo tahu, lo itu udah melakukan dosa yang sangat besar, Kir," ucapan Tari membuyarkan isi pikiranku. Sahabatku itu menegakkan posisi duduknya, menatapku lekat. "Lo naksir pacar orang."
Aku tahu aku berdosa. Tapi apa Agam juga tidak disalahkan dalam kasus ini? Dia kan yang doyan bikin aku baper!
"Dosanya si Agam karena terlalu baik ke gue, Tar!"
"Dan dosa lo juga karena keikut baper," sahut Tari cepat. "Nih, gue sebutin dosa-dosa elo dalam hal ini. Satu, lo dosa karena naksir pacar orang. Dua, lo dosa karena terlalu baper sama si Agam. Tiga, lo dosa karena membiarkan perasaan suka lo ini selama bertahun-tahun dan nggak berusaha untuk menghilangkannya."
Aku berdecak, sementara Tari justru menatapku datar.
"See? Lo memang nggak seharusnya naksir Agam, darling."
Aku menjatuhkan kepalaku ke depan, membiarkannya bertabrakan dengan kasur apartemen Tari yang empuk.
Tadinya, rencana awalku datang ke apartemen Tari ini adalah untuk curhat panjang lebar mengenai tawaran pindah yang diajukan Kak Saras padaku. Tentang betapa dilemanya aku karena harus memilih dua hal penting: efisiensi waktu atau kesehatan mata dan – ehem – hatiku. Tapi curhatanku malah melenceng ke topik mengenai perasaanku pada Agam yang tak kunjung padam, yang membuat Tari kembali menceramahiku dengan topik cinta terlarangku pada Agam.
Astaga, aku jadi merasa mirip dengan salah satu lagu yang dipopulerkan oleh The Virgin.
Aku memang tidak bisa mengharapkan sesuatu seperti "Sabar ya..." atau "Lo semangat aja ngedapatin si Agam" dari Tari. Tari, sahabatku sejak kuliah ini memang tak ahli dalam hal berbasa-basi. Semua yang keluar dari mulutnya kebanyakan langsung keluar saja tanpa disaring. Dia akan mengatakan apa yang dia suka dan apa yang dia tak suka padaku. Aku juga memiliki sifat yang hampir sama sebenarnya. Tapi tetap saja aku merasa sebal jika seseorang balik nyablak terhadapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
ChickLitKirana: Persahabatan antara cewek dan cowok itu bullshit kan? Kalau nggak percaya, lihat saja aku. Aku sudah menghabiskan hampir separuh hidupku dengan menyukai sahabatku sendiri. Resha: Mau tau apa yang paling membuat lo merasa diri lo memalukan? N...