Bab Sepuluh

13.6K 1.7K 247
                                    


Kirana

Aku belum bertemu Agam lagi sejak ketololannya malam itu. Agam masih sering mengirimiku pesan-pesan singkat yang nggak penting banget seperti "Gue lagi di mi ayam perempatan deket CH. Mau nitip?" dan "Ada The Maze Runner di Fox Movies Premium", yang akan kujawab dengan "nggak" dan "penting banget lo ngasih tau gue?!". Jika imanku sedang kuat dan pesannya tidak membutuhkan jawaban, maka tidak akan kubalas. Pokoknya, sebisa mungkin aku berusaha agar tidak terlalu sering berhubungan dengan Agam lagi.

Aku bersyukur Agam tidak bawel dan menanyakan kenapa aku berubah akhir-akhir ini. Mungkin dia terlalu sibuk, hingga tak menyadari bahwa aku sedang mengambil langkah seribu untuk menghindarinya. Atau, mungkin dia tahu namun memutuskan untuk diam saja. Apapun itu, aku sungguh bersyukur. Aku benar-benar tidak tahu jawaban apa yang harus kuberikan jika dia menanyakannya.

Sementara aku sibuk menata hati dengan cara menghindari Agam – kegiatan bodoh, I know, karena aku bahkan tidak tahu apa dia sadar jika aku sedang menghindarinya – aku memanfaatkan waktuku untuk membantu Kak Saras mempersiapkan segala yang ia butuhkan untuk menyambut kelahiran bayinya. Sementara hari kepindahannya adalah hari ini, aku justru lupa kalau ada satu hal penting yang harus kukerjakan: Menitipkan Katy pada Resha. Jadilah tadi Kak Gilang mengomel panjang lebar, membuatku buru-buru tancap gas ke rumah Resha.

"Rumah lo susah banget dicarinya," keluhku begitu aku keluar dari mobil. Resha sudah berdiri di depan rumahnya sejak aku menelponnya tadi supaya memudahkanku untuk menemukan rumahnya.

Resha melongo menatap penampilanku. Astaga, aku baru sadar kalau aku masih mengenakan kaos oblong serta celana longgar selutut yang kupakai tidur semalam.

"Sori, buru-buru banget tadi," ujarku, menyadari kenapa ia melongo ketika melihatku tadi. "Gue lupa kalau kakak gue pindahannya hari ini, jadi tadi suaminya ngomel-ngomel dan... yah, gitu deh."

"Nggak, nggak papa," sahut Resha buru-buru. "Si Katy mana?"

"Bentar," ujarku. Aku membuka pintu belakang mobil, lalu mengambil Katy yang sudah kuletakkan di kandangnya. Resha tanggap, segera membantuku membawakan kandang Katy.

Aku membuntutinya menuju rumahnya, meletakkan Katy di halaman belakang.

"Sori, cuma ada mbak gue di rumah. Orang-orang pada pergi," ujarnya. "Ini udah boleh dikeluarin dari kandang, kan?"

Aku mengangguk. "Keluarin aja."

Resha membuka kandang Katy, membuat kucing kesayanganku itu beringsut keluar dan segera berlari ke pelukanku. Aku balas pelukannya, lalu ikut ngejogrog di hamparan rumput yang telah dipangkas rapi itu bersama Resha.

"Gue seminggu sekali ke sini," gumamku setelah beberapa saat tidak ada percakapan di antara kami. "Mau jengukin si Katy sekaligus mandiin dia. Nggak papa, kan?"

"Ya masa nggak boleh?"

Aku tertawa kecil. "Jadi kapan nih keluarga lo balik?"

"Kenapa lo tanya-tanya keluarga gue?" tanya Resha. Cowok itu lalu memasang tampang tengil dengan tersenyam-senyum mencurigakan. "Apa nggak kecepetan, Kir? Tapi nggak papa sih kalau lo mau, kita langsung taarufan aja, terus..."

"Hei, hei. Ngaco lo!" Aku menggeplak kepalanya.

"Sakit, Kir..."

"Mulut lo itu minta disumpel pakai lap kotor," omelku. "Gue pengin ketemu keluarga lo biar gue bisa memastikan kalau si Katy sudah ada di tangan yang benar, dodol!"

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang