Bab Lima

13.6K 1.7K 215
                                    


Resha

Pesan gue untuk seluruh calon orang tua di dunia: Jangan pernah namai anak anda dengan nama yang mainstream. No offense, Pak, Bu, tapi nama mainstream akan menyusahkan kami – anak-anak yang ingin menggebet anak anda – untuk men-stalk mereka di sosial media.

Seperti yang sedang gue lakukan pagi ini: Tidur-tiduran di sofa sejak sejam yang lalu, dengan mata yang terus tertancap ke layar ponsel, bolak-balik mengetikkan nama 'Kirana' di search instagram. Demi Tuhan, dari semua nama yang ada di dunia, kenapa namanya harus Kirana? Kirana is just, hell, ratusan cewek, bahkan dewi di kahyangan pun ada yang namanya Kirana!

Gue udah googling nama si Kirana ini dengan keywords: Kirana guru SMA Citra Harapan. Memang berguna. Gue nemu akun linkedin-nya, dan akun itu memberitahu gue beberapa hal penting tentang Kirana. Nama lengkapnya Kirana Widjaya, umur dua puluh tiga tahun, bekerja sebagai guru biologi di SMA Citra Harapan selama satu tahun terakhir. Tapi itu doang. Gue search di instagram dengan keyword kiranaw, krnwdjy, maupun kiranawidjaya, tetap nggak nemu akunnya si Kirana ini. Masa iya dia nggak punya instagram?

"Bang, minta tolong, dong."

Gue menoleh ke asal suara itu. Rena, adik perempuan gue, sudah berdiri di dekat gue dengan ekspresi memohon. Gue berdecak. "Gue ada firasat nggak enak nih kalau lo pakai tampang memohon-mohon gini."

Rena nyengir lebar. "Online shop gue lagi banjir pelanggan nih, Bang. Gue lagi ada barang baru, tolong fotoin barang-barang gue, dong... Buat promosi di instagram. Ya?"

Gue berdecak lebih kencang lagi. Masalahnya, Rena ini minta tolongnya sebelas dua belas sama ngebudakin. Awalnya pakai kata "tolong" tapi akhirnya juga nyuruh-nyuruh. Gue pernah beberapa kali dia suruh motoin model buat online shop-nya dia – Rena jualan baju, ngomong-ngomong – dan kedapetan model baru yang bawel banget. Yang nggak tahan panas lah, yang haus lah. Gue berasa dapat jabatan dobel; jadi fotografer sekaligus kurir angkut-angkut minuman.

"Nggak, nggak. Gue sibuk."

"Bang..."

"Lo bayar orang femes buat endorse aja, lah," usul gue. "Simpel. Gue juga nggak repot."

"Kalau minta endorse kan mahal, Bang. Lagian model yang gue minta tolongin itu nggak hits hits amat di instagram," rengeknya. "Jahat banget, sih..."

Gue berdecak. Astaga, Rena memang paling tahu kelemahan gue. Setiap kali gue menolak permintaannya, dia bakal berkata "Jahat banget sih..." dengan suara serak menahan tangis, dan abakadabra, hati gue akan langsung berbalik menuruti keinginannya. Nggak tega.

Licik memang. Tapi begonya, gue tetap saja masuk perangkapnya.

"Ya udah, ya udah," ujar gue akhirnya.

Rena menyengir lebar. Cewek itu meloncat, memeluk gue erat. "Gue sayang sama lo, Bang..."

"Halah. Pret. Kalau ada maunya aja," cibir gue, beringsut melepaskan pelukan Rena. Dia nggak menolak saat gue lepaskan pelukannya. Pelukan tadi kan hanya bagian dari akal bulusnya saja untuk merayu gue.

Rena nyengir lebar. "Serius Bang, lo memang abang yang baik hati."

"Gombal basi," sahut gue, membuat bocah itu tertawa. "Jadi kapan nih photoshoot-nya?"

"Besok gimana? Besok kan hari Minggu, tuh. Jadi kelar photoshoot, kita ke PI."

"Itu sih usaha lo yang selanjutnya buat malakin gue."

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang