Bab Dua Puluh Dua

11.3K 1.4K 129
                                    

Kirana

"Lo ngagetin, tau. Untung gue lagi nggak pulang!" omelku pada Agam yang hanya cengar-cengir mendengarnya.

Hari ini hari Sabtu. Masih pagi, tiba-tiba Agam menelpon dan mengatakan dia sudah menunggu di lobby apartemenku. Ketika kutemui, cowok itu malah tersenyum sambil membawa paperbag berisi pempek yang katanya adalah titipan dari ibunya.

"Kenapa nggak taruh aja di rumah, biar lo nggak usah jauh-jauh ke sini?" tanyaku, sembari meletakkan pempek darinya ke dalam kulkas.

"Kayaknya lo kok nggak senang gue datang, sih?"

"Bukan nggak senang, cuma aneh aja," jawabku sekenanya.

Hari ini aku berencana untuk menjenguk Katy di rumah Resha. Kak Saras dan Kak Gilang memang masih mengungsi di rumahku, sehingga Katy juga dengan terpaksa harus tetap diungsikan di rumah Resha. Resha sendiri juga tak tampak keberatan dengan permintaanku itu, dan berkata bahwa aku tak perlu merasa tidak enak karena kehadiran Katy justru memeriahkan suasana di rumahnya. Aku sudah rindu Katy -- terakhir kali aku melihatnya sekitar seminggu lalu -- tapi dengan kedatangan Agam, sepertinya rencanaku untuk menjenguk Katy harus ditunda dulu.

"Hari ini lo mau ngapain?" tanya Agam. Cowok itu duduk di meja makan, dan sepertinya, sedang memperhatikan gerak-gerikku.

"Hm?" Aku menggumam tak jelas. Sumpah deh, diperhatikan Agam seperti ini benar-benar tak baik bagi konsentrasiku! "Kemarin Tari ngasih gue resep buat bikin Churros, katanya gampang. Makanya sekarang gue mau nyoba bikin."

"Gue bantu, deh."

"Heh? Nggak, nggak. Terakhir gue masak sama lo, lo ngeledekin gue gara-gara nugget yang gue goreng gosong padahal di dalamnya masih ada esnya!" tolakku mentah-mentah. "Kalau cuma mau ngeledek, nggak usah lah ya!"

Agam tertawa geli. "Tapi tetap gue habiskan, kan?"

Iya, sih. Waktu itu, Agam memang tetap menghabiskan nugget gorenganku walaupun dia meledekku habis-habisan. Aku juga heran kenapa dia masih mau memakannya. Padahal aku malah sempat berencana untuk membuangnya saja karena tidak yakin nugget itu edible.

"Jadi, gue bantuin apa aja, nih?"

"Seriusan mau bantu?"

"Apa gue nggak kelihatan seperti orang yang mau serius membantu?"

"Baiklah kalau lo memaksa," Aku menyengir. "Tolong ambilin tepung terigu di lemari atas, dong," pintaku, menunjuk lemari tempatku menyimpan bahan-bahan makanan.

Agam menurut. Cowok itu harus naik ke atas kursi dulu agar bisa mengambilnya. "Kalau nggak ada gue, gimana caranya lo ngambil?" tanya Agam. "Tinggi banget gini."

"Ada teknologi bernama kursi ya, Pak Agam," jawabku. "Ya sama kayak lo, lah. Gue naik kursi dulu kalau mau ngambil."

Aku mati-matian menahan napas ketika Agam berdiri di sampingku, memperhatikanku yang sedang menuangkan tepung terigu ke dalam adonan. Aroma tubuhnya dapat tercium dari sini. Mendadak aroma tubuhnya membuatku pusing. Aku membayangkan bagaimana jika suatu hari nanti, aku memasak sesuatu untuknya -- semoga saja skill memasakku sudah sedikit meningkat jika saat itu tiba -- lalu Agam, masih dengan wajah khas baru bangun menyapaku dan bertanya, "Kamu masak apa pagi ini?"

Kyaaa!

Tapi yang terjadi pada kenyataannya adalah, Agam justru mencolek adonan yang masih kuaduk dengan jari telunjuknya, lalu menjilatnya.

Aku melotot. Buyar sudah bayanganku tentang adegan romantis kami di pagi hari. "Agam! Jorok banget, sih!"

Agam menatapku. Jelas tak peduli dengan omelanku barusan. Cowok itu mencecap-cecap lidahnya. "Manis," ujarnya. "Enak, Kir. Mau lagi, dong."

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang