BAB II

165 11 4
                                    

Aku merasa terasingkan. Tak seorang pun yang dapat menarik perhatianku. Aku hanya terdiam di bangku kelas yang sengaja ku pindahkan ke pojok ruangan. Suasana dingin di Jepang merasuki tubuhku. Aku ingin tidur saja.

Krriiiingggg....

Semuanya memasuki kelas untuk memulai pelajaran. Tak lama kemudian seorang tua berkulit putih, bertubuh gemuk, dengan rambut yang tak tumbuh begitu subur bak seorang profesor yang menghabiskan waktunya di laboratorium, memasuki kelas yang ricuh dengan ocehan para gadis dan anak laki-laki yang membicarakan tentang seseorang yang mereka lihat saat masuk gerbang tadi.

Pelajaran kimia berlangsung dengan tak menyenangkan, suasananya begitu sepi, namun tak seorangpun yang memperhatikan sesosok orang yang ada di depan kelas -sepertinya semua orang sedang berdoa agar guru tersebut lekas pergi-. Sedangkan aku hanya terdiam, dan memperhatikan ke luar jendela, melihat ke lapangan yang dipenuhi salju dan pohon yang menari riang oleh hembusan angin dingin.

Sepulang sekolah aku harus menunggu Ichiro. Selagi menunggu Ichiro, aku membeli minuman hangat di kantin sekolah dan berusaha menghabiskanya selambat mungkin agar aku memiliki peersediaan jika aku harus menunggu Ichiro dalam waktu yang lama.

"Hey, apa kalian mendengar beritanya?" Semua orang saling menatap penasaran. "Arata telah kembali." Semua orang menutup mulut mereka yang menganga dengan telapak tangan. Tak ada satupun yang bersuara. Hanya berani mengungkapkan dengan ekspresi terheran-heran dengan mata yang berbinar-binar, ada pula yang mengungkapkannya dengan wajah ketakutan.

"Ayo pulang, Dad sudah menunggu", terbawa dengan suasana riuh, aku sampai tak sadar bahwa Ichiro sudah di depanku sedari tadi.

"Maaf Dad, aku harus mengurus data-dataku untuk ekskul."
"Baiklah. Mari kita pulang. Mom sudah menunggu kita" Dad menginjakkan kakinya pada pedal, dan memutar stir mobil itu dengan lihai.

Keadaan rumah tampak sepi dari luar. Hanya lampu bernuansa putih dan emas yang meramaikan setiap sisi jalan yang tertutup serutan es batu yang jatuh dari langit dengan bebasnya. Begitu kami memasukki rumah, Mom sudah menyambut kami dengan pelukan hangatnya dan makanan lezat yang membuat perutku memberontak.

"Bagaimana dengan hari ini, Sora? Apakah kau mendapatkan teman baru?"

"yeah, I got it."

"Wow! Siapa saja mereka? Apakah mereka memperlakukanmu dengan baik?"

"They're my desk and my chair. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik."

Aku menyunggingkan bibirku. Mom, Dad, dan Ichiro hanya menggelengkan kepala dan menatapku dengan tatapan prihatin.

"Kau harus bisa berbaur, Sora. Akan lebih baik jika kau mendapatkan teman untuk membantumu untuk membiasakan dirimu di Jepang."

"Hal itu tidak lebih baik dibanding meja dan kursiku, Dad." Aku segera berdiri dan mengecup kedua pipi orang tuaku, dan masuk ke kamar baruku yang sengaja didesain seperti kamar lamaku di London. Ruangan bernuansa putih dan beberapa lukisan dominan berwarna biru yang terpaku di dinding membuatku merasa lebih tenang dan sabar untuk menjalani hari-hariku.

Aku merebahkan tubuh kecilku ke atas ranjang bersprai biru, menarik selimut dan melilitkannya ke tubuhku, dan memeluk guling kesayanganku. Aku pun tertidur.









He Caught Me In His ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang