BAB XV

72 5 3
                                    

Mataku terbuka perlahan, sesekali terlihat kabur, kukedipkan mataku beberapa kali dan akhirnya jelas. Aku sudah terbaring disebuah ranjang bersprai putih polos dengan selimut tebal yang terbalut rapih dari perut sampai menutup rapat kakiku.

Botol cairan yang diam tergantung pada tiang besi meneteskan titik-titik air yang kemudian mengalir ke tubuhku melalui selang infus. Aku melihat ke sekeliling dan melihat Mom dan Daddy duduk disofa panjang berwarna ungu tua.

Bola mataku melirik kekanan dan kekiri mencari seorang yang beberapa hari lalu–entah sudah berapa lama- dihadapanku. Dia tidak ada.

"Mom.."

Mom dan Dad bangkit dari sofa dan menghampiri ranjangku "Ya, sayang? Kau sudah sadar? Mom disini."

"Dimana Ichiro?" Aku berkata dalam volume kecil dan nada berat.

"Dia sedang di rumah. Mom menyuruhnya pulang setelah menjagamu."

Aku mengangguk perlahan seolah mengerti.

####

"Selamat kembali kerumah, adikku.." Ichiro memelukku dan memberi kecupan kecil didahiku.

"Aku senang melihatmu, Ichiro." Aku membalas pelukannya.

"Hanya itu? Kau tak ingin mengatakan kalau kau merindukanku? Kau tak ingin bilang bahwa ketampananku bertambah setelah beberapa hari tidak melihatku? Kau.."

"Cukup. Kau sangat berlebihan." Aku meninggalkannya dan pergi ke kamar.

"Sora, "

"Ichiro, biarkan adikmu beristirahat." Mom menepuk pundaknya, sedangkan aku mengeluarkan lidahku sepanjang mungkin padanya.

Aku sudah tidak mandi berapa hari? Astaga Sora! kau belum mandi dari chapter VI. Kepalaku berat sekali. Aku ingin mandi. Setelah sekian lama aku tidak memegang handuk biru kesayanganku. Aku menyalakan shower, mengatur suhunya agar sedikit lebih dingin dari suhu yang biasanya. Aku merasa sangat gerah.

Ketika air dari shower turun dan membasahi ubun-ubunku, aku merasakan sensasi melegakan sekaligus melayang-layang dalam aroma air jernih dan aroma lavender dari pewangi kamar mandiku itu. Kuusapkan sabun ke seluruh tubuh, menyentuh kelembutan busa yang keluar, meniup sabun di tanganku sehingga menghasilkan bulatan-bulatan bening yang terbang diudara dan menghilang seketika.

Aah.. segarnya.

Baru kali ini aku merasa dilahirkan kembali setelah mandi –aku tahu ini berlebihan- ffyyuhh.. sesaat aku dapat melupakan Arata.

Besok aku harus pergi ke sekolah dan bertemu dengan Arata. Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya. Tidak ada lagi ketakutan, aku merindukannya.

Lingkungan sekolah seakan menyambut kedatanganku dengan riang. Hari ini cuaca cerah sekali. Tidak ada yang berubah, disini. Semua masih pada posisinya masing-masing. Namun perasaanku telah beralih posisi. Dari yang gelap, kini terang. Dari yang terikat, kini terasa bebas. Entah mengapa begitu. Aku tidak tahu, bahkan terlalu bahagia untuk mencari tahu. Hehe.

Langkah demi langkah kulewati, hingga didepan pintu kelas yang sudah terbuka. Ketika aku masuk ke dalam, semua orang langsung mengerumuniku dan melemparkan beratus-tidak-beribu-berjuta pertanyaan yang membuatku bingung.

"Tu.. Tunggu dulu. Sebentar. Bisakah kalian berbicara satu per satu?" teriaku ditengah-tengah gerombolan manusia yang tingkat keributannya kuberi nilai sepuluh dari lima. Sunyi seketika.

"Apa yan terjadi padamu dan Ayuka?" kata seorang dari puluhan orang yang ada disitu. Aku merasa seperti seorang selebriti yang sedang diintrogasi oleh puluhan bahkan ratusan wartawan.

Tak ragu aku menceritakan semua. Dan tidak sedikit dari mereka yang menggelincirkan makian pada Ayuka yang tak ada saat itu. Saat ini, aku jadi teringat akan Ayuka. Bagaimana nasibnya sekarang? Apa yang sedang ia lakukan?

Aku sedikit merasa bersalah. Mungkin sekarang, bisa dibilang bahwa aku sedang menyebarkan keburukan seseorang. Yah, seperti itulah aku.

Hhmm..

Apakah Arata akan masuk sekolah? Mengapa ia tidak menjengukku? Jangan-jangan lukanya bertambah parah?!

Aku gelisah sepanjang waktu, tidak melihat batang hidung Arata. Sampai akhirya istirahat pertama pun sudah dideklarasikan. Kali ini aku melawan rasa laparku dan segera berlari menuju atap. Mungkin dia disana.

Pintu besi yang masih sama seperti kemarin tertutup rapat, aku mendorongnya sampai terlihat lapangan terbuka yang kosong dan terasanya angin segar dari luar. Aku mencari Arata, namun tidak ada tanda-tanda ia disini, aku sedikit kecewa.

Sepulang sekolah, aku meminta izin pada Ichiro untuk pergi ke panti jompo di ujung jalan. Tentunya untuk mencari Arata. Aku mempercepat langkah kakiku seolah tak sabar untuk menemukannya disana.

Panti jompo ini terlihat sedikit berbeda, terlihat lebih segar dari sebelumnya. Tembok kokoh itu dicat berwarna hijau melambangkan kesegaran yang membuat mataku tidak ingin beralih darinya, namun kaki, hati, dan pikiranku mendesakku untuk masuk kedalam.

"Permisi.. Selamat sore." Aku membungkukkan badanku pada beberapa orang tua yang bekumpul pada suatu ruangan.

"Yaa, selamat sore. Ada yang bisa dibantu?" Seseorang menjawab salamku dari belakang. Suara yang tak asing, suara yang ingin kudengar, suara yang kurindukan.

"Arata? Ternyata benar kau disini." Aku membalikkan tubuhku dan mengatakan sejumlah kata pembuka dengan gugup.

"Kau mencariku? Ah, mungkin tidak." Ia memalingkan wajahnya sambil menggaruk lehernya. Arata terlihat agak aneh, tak seperti biasanya. Aku tak dapat melihat kepercayaan dirinya saat ini

"Ya. Aku mencarimu. Apa kita bisa bicara sebentar?"

Arata hanya menganggukan kepalanya dan berjalan duluan keluar. Aku tidak langsung mengikutinya malah memandanginya dari belakang, sangat berkharisma.

"Ada apa, Sora?"

"Kau.. mengapa tidak sekolah?"

"Aku tidak ingin saja." Arata terlihat lebih dingin dari sebelumnya. Membuatku lebih canggung.

"Aah, hmm begitu ya? Ngomong-ngomong, aku ingin berterima kasih padamu untuk kemarin. Bagaimana dengan lukamu?"

"Luka luarku sudah sembuh. Tapi mungkin luka dalamku semakin parah."

"Apa? Kau tidak ke dokter? Mau kuantar?"

"Tidak perlu. Kau disini pun sudah sedikit mengobatinya."

##

beep beep.. hellaw. thank you for reading.

He Caught Me In His ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang