BAB XI

109 4 0
                                    


Ichiro dan aku masih menunggu hasil pemeriksaan Arata. Aku masih terisak mengingat apa yang kulihat. "Tenanglah Sora. Ia akan baik-baik saja."

Setelah setengah jam menunggu, seorang berjas putih, dengan masker dan kacamata minus keluar dari ruangan Arata. Aku dan Ichiro berdiri menyambutnya.

"Apakah kalian keluarganya?" Dokter itu bertanya dengan sopan.

Kami berdua saling bertatap-tatapan. Ichiro mengangkat suara "Ya, kami keluarganya. Apa yang terjadi padanya? Apa ia baik-baik saja?"

"Kondisinya tidak terlalu baik, tapi untungnya ia belum terlambat dibawa ke rumah sakit. Ia memiliki luka dalam yang parah, mungkin ia dipukul dengan benda tumpul, dan kami sudah menjahit bagian wajahnya yang robek. Tapi kupikir ia orang yang kuat, mungkin besok ia sudah membaik."

Aku menutup mulutku dengan tangan yang basah karena takut, dan masih menahan isakan tangis sejak tadi. Aku bersyukur ia bisa diselamatkan, ada yang ingin kukatakan padanya nanti.

Rasanya aku ingin segera membuka pintu geser bertuliskan 141 itu ketika melihat Arata dari kaca transparan dipintu, tapi Ichiro menangkap tanganku. "Kita harus tahu dimana orang tuanya."

"Bagaimana jika kita tanyakan pada pihak sekolah saja?" Ichiro mengangguk setuju dan segera menelfon ke pihak sekolah. Sedangkan aku meminta izin untuk menengok keadaan Arata.

Ia terbaring tak berdaya, hidungnya dipasang selang oksigen, tangannya dimasukkan selang infus. Aku mendekatinya, wajah tampannya dipenuhi luka. Dahinyaa kini terdapat bekas jahitan. Aku mengelus wajah dan bagian punggung tangannya dengan ujung jemariku. Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini padanya, siapa orang-orang tak berperi kemanusiaan yang memukulinya seperti ini.

"Cepatlah pulih, Arata. Kau sudah berjanji untuk membuktikan bahwa kau benar." Aku membisikkan kalimat itu ditelinga Arata sambil mengusap rambut hitamnya yang masih tetap lembut kurasakan.

Ichiro datang bersama seorang guru yang baru-baru ini kulihat. Aku berdiri dan memandang Ichiro dengan tatapan bertanya.

Tanpa kuminta, Ichiro sudah menjelaskannya padaku. "Arata dititipkan oleh orang tuanya di sekolah kita. Orang tuanya bertugas diluar negeri, jadi pihak sekolah yang akan bertanggung jawab." "Sekarang kita bisa pulang dulu. Aku sudah menyerahkannya pada Hashimoto sensei."

Aku mengangguk mengerti. Kami berdua membungkukkan badan pada guru tersebut dan meminta izin untuk pulang. Aku yakin, ketika pulang nanti pasti Mom melontarkan beribu pertanyaan pada kami. Pertama, mengapa kami pulang terlambat? Kedua, apa yang terjadi sampai-sampai bajuku dipenuhi darah? Dan selanjutnya..

Ichiro membaca raut wajahku yang sedaritadi menunduk dan tertekuk. "Jangan khawatir. Aku yang akan menjelaskan semuannya pada Mom. Dan kau, jangan menangis lagi. Jika kau menangis, aku yakin 100% aku tak akan bisa tidur nanti malam."

Aku mengangkat wajah sambil mengusap air mataku dengan telapak tangan."Aku tak akan menangis lagi, jangan khawatir. Aku baik-baik saja."

"Aku tidak mengkhawatirkan keadaanmu. Tapi suara tangisanmu itu jelek sekali, kurasa jika aku mendengarnya sepanjang malam, keesokkan harinya telingaku tak akan berfungsi dengan baik." "Ah, semoga Arata baik-baik saja. Kau menangis ditelinganya tadi."

Dasar Ichiro. Sifat jahilnya muncul kembali. Aku melayangkan telapak tanganku dan mendaratkannya tepat ke lengan sebelah kanannya. Ichiro tak membalas, ia hanya mengusap lengannya sambil meneriakkan kata yang terdiri dari huruf 'A' dan 'W' itu. Namun agak sedikit panjang dan berulang-ulang. Aku tertawa kecil dan merasa bahwa beban didadaku sedikit berkurang.

Sudah kuduga, sampai di rumah, Mom menghampiri kami dan memperlihatkan raut wajah khawatirnya. Tapi, ada yang melenceng. Mom tidak menanyakan satu hal pun pada aku maupun Ichiro. Ia hanya memeluk dan menyuruh kami beristirahat.

Sampai diatas, aku bertanya pada Ichiro "Apa yang terjadi dengan Mom?"

"Ahahaha. Jangan heran begitu. Kalau bukan karena aku, Mom tak akan seperti itu. Aku sudah menelfonnya tadi." Ichiro langsung masuk ke kamarnya dan bernyanyi tak jelas. Sedangkan aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.

Hari ini aku bersyukur aku memiliki Ichiro. Abang yang setia membantuku, dan terkadang menyebalkan ketika mengganggu.

Kesedihanku memuncak ketika aku sendirian di kamar. Tak ada seorang pun dalam pikiranku, selain Arata. Aku menyesal, tak bisa menjadi temannya. Mungkin selama ini, ia hanya mencari teman yang cocok untuknya. Ia sendirian di Jepang, sedangkan kedua orang tuanya bekerja diluar negeri.

Aku meneteskan air mata yang tadinya menggenang dibagian bawah jendela tubuhku, dan kembali membasahi pipi dan bulu mataku. Aku menahan suara isakan ditenggorokanku yang membuatku susah bernafas. Pikiranku sudah dipenuhi olehnya.

.

sorry ya telat update lagi, authornya sibuk jalan-jalan hehehe. enjoy the story yap

He Caught Me In His ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang