BAB VI

107 9 0
                                    


Tidak bisa seperti ini. Aku tak boleh mendekat padanya. Besok aku harus mengatakan pada Arata bahwa aku tak bisa menjadi temannya. Ya, ini tekadku.-sebenarnya aku takut-

Malam ini aku mengahampiri Ichiro yang sedang mendengarkan musik dengan earphone. "Ichiro, ada yang ingin kutanyakan padamu." "Hm. Apa?"

"Apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu seorang perempuan cantik namun terlihat kejam dan misterius?" Ichiro melepaskan earphonenya

"Hmm.. kupikir aku akan mengejarnya jika memang ia telah mencuri perhatianku. Ngomong-ngomong, mengapa kau bertanya padaku? Jangan bilang kau.."

Aku melihat ekspresi curiga dari wajah Ichiro dan segera mengelak "Tidak. Tak seperti yang kau pikirkan. Ini masalah temanku, jadi aku hanya bertanya padamu agar aku bisa memberinya saran."

"Ah.. jadi meja dan kursimu sedang mempunyai masalah dengan seorang perempuan yang kejam dan misterius?" Aku terdiam dan segera melarikan diri dari kamar Ichiro. "Awas kau, aku akan mencari tahu!"

Sudah kubilang, dia suka mencampuri urusanku. Aku menyesal. Sudah terlambat-bukan-aku bodoh.

Keesokan harinya di kelas, aku mengumpulkan setumpuk keberanian yang tersisa-tidak-mungkin hanya sejumput keberanian- untuk mengatakan tekadku kepada Arata. Aku menghampiri Arata yang sedang memainkan smartphone. "Arata, aku ingin bicara padamu."

Ia menoleh keatas –ini karena aku berdiri- "Apa?" Ia kembali mengalihkan pandangannya pada benda kecil berbentuk kotak itu.

"Aku tak bisa menjadi temanmu."

Ia masih memfokuskan matanya pada benda itu. "Yah, kau tak bisa jadi temanku. Tapi kau bisa menjadi teman baikku."

"Kau tak mengerti, Arata. Aku sudah bilang. Aku tak bisa menjadi temanmu, apalagi teman baikmu." Kali ini tidak hanya menoleh padaku, ia berdiri seperti memamerkan tubuh tingginya lalu menundukan kepalanya.

"Mengapa? Kau pikir aku sudah memaafkanmu? Lagipula, kau.." Aku meninggalkannya keluar. Aku tak ingin berteman dengannya. Arata, aku takut padanya, sifatnya, cara bicaranya yang blak-blakkan. Aku takut tertipu, dan semakin jauh, aku larut akannya.

"Sora," Panggil Ayuka dari kejauhan. Aku masih larut dalam lamunanku. Ini sudah beberapa hari setelah aku mengabaikan Arata, dan aku tidak pernah melihatnya lagi di sekolah."Sora, apa kau mendengarku?" kali ini Ayuka mengguncang-guncang tubuhku yang sedang duduk terdiam dibawah pohon.

"Ah, iya. Ada apa Ayuka?"

"Hmm. Sepertinya kau sedang berfikir sangat keras, sampai-sampai telingamu tak bisa mengirimkan impuls ke otak. Apa yang kau pikirkan?"

"Sepertinya kau baik dalam biologi." Jawabku yang meleset jauh dari pertanyaan.

"Akhir-akhir ini kau terlihat dekat dengan Arata. Apa yang dia inginkan darimu?"

"Tidak ada. Dia hanya memintaku menjadi temannya."

"Dan kau mau?"

"Sebenarnya tidak. Tapi aku harus menebus kesalahanku. Aku takut padanya."

"Hanya karena kau jatuh ke pelukannya?"

"Ya, atau mungkin ada hal lain."

"Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kupikir dia menyukaimu."

"Tidak. Tidak boleh. Aku sudah mengatakan padanya bahwa aku sudah tak bisa menjadi temannya."

"Wah,wah. Pantas saja dia seperti itu." Kata Ayuka dengan gaya seperti orang berfikir.

"Apa masudmu?" jantungku berdegup kencang. Apa yang dilakukan Arata?

"Dia sedang menyendiri di atap. Sudah lama. Entah berapa jam, berapa hari?" Ia mengusap dagunya, dan sekali-sekali menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Tidak. Jangan-jangan..

Aku berlari kencang, sekuat tenagaku dan membiarkan rambutku terurai dan berkibar, diterpa oleh angin. Tak peduli seberapa banyak orang yang kutabrak selama di perjalanan. Aku menaiki tangga yang sudah usang itu, dok dok dook.. aku mengetuk pintu yang terbuat dari besi dan mencoba untuk mendobraknya. Namun tubuh mungilku tak sanggup melawan tolakan dari pintu itu. "Arata.. Jangan melakukan hal bodoh."

Tak ada jawaban dari sana. Tidak, tidak mungkin. Cekrek. Aku memutar pegangan pintu itu, dan ternyata pintu itu tidak dikunci. Aku sudah benar-benar kacau, aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan daritadi. Sampai-sampai aku menyakiti badanku untuk mendobrak pintu yang tidak dikunci. Bodoh.

"Arata, apa yang kau lakukan disini?"

"Aku menunggumu." "Aku tahu kau akan kesini, kau mengkhawatirkanku."

"Dasar kau gila." Aku membalikkan badanku, menyembunyikan wajahku yang sudah seperti tomat matang, aku sudah tertipu olehnya. Harusnya aku tahu kalau dia tidak akan melakukan hal bodoh itu. Aku menuruni anak tangga usang itu, yang kira-kira jumlahnya dua belas anak tangga sambil mengutuki diriku. Sekarang aku benar-benar mengkhawatirkanmu.


.

hallo gaes.. karena hari ini ada kegiatan, jadi ku updte pagi ya.. thank u for reading :)

He Caught Me In His ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang