BAB IV

126 11 3
                                    

"Hai, Sora. Apa yang kau lakukan? Mengapa kau melamun?" Aku terkejut dan menolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, aku mendapati Ayuka didepanku.

"Ahh, aku hanya kurang tidur, Ayuka."

Tiba-tiba seseorang menghampiri mejaku. Semua orang yang tadinya berada di sekitarku termasuk Ayuka pergi tanpa mengatakan apapun. Arata. Cowok berwajah tampan dengan sifatnya yang misterius itu menghampiriku. Aku hendak pergi, namun ia menahanku dengan tangannya.

"Siapa yang menyuruhmu pergi?"

Oh Tuhan, kuatkanlah aku.

"Kau ada perlu apa denganku?"

"Kau bertanya padaku? Apa kau tak sadar, kalau kemarin kau jatuh kedalam pelukan mahalku?" Ia menyunggingkan bibirnya yang antik itu –dan dia tidak melepaskan genggamannya-

"Aku minta maaf, karena aku tak sengaja terdorong kedepan sehingga aku menubrukmu." Aku hendak melepaskan genggamannya, namun sekali lagi ia menarikku, bahkan lebih dekat padanya. Aku melihat banyak gadis di ambang pintu menonton kami dengan kesal, seperti sedang menonton adegan menjengkelkan pada sebuah film.

"Tak semudah itu cara meminta maaf padaku." Arata menarikku keluar dari kelas, aku tak bisa memberontak karena tangannya begitu kuat, sampai-sampai aku tak bisa lagi merasakan darahku mengalir di sekitar pergelangan tanganku.

Arata membawaku ke atap sekolah. Jantungku berdebar begitu kencang, rasanya jantung ini akan melompat dari atas gedung sampai kebawah. Oh God, please help me. Aku memejamkan mata, aku sudah siap jika ia ingin membuangku dengan tangannya ke bawah. Aku sudah siap jika ketika aku membuka mata, aku sudah berada di surga. Beberapa menit kemudian, aku tak merasakan apapun, kupikir aku sudah mati. Mata yang tadinya tertutup pun terbuka dan langsung melihat sebidang dada yang lebar dan tegas. Ketika aku mengangkat wajahku pupilku langsung membesar, retinaku langsung menangkap bayangan sesosok Arata yang ternyata hanya berdiam diri di depanku, tersenyum dengan senyuman khasnya yang sekarang berubah menjadi tawa sinis.

"Apa kau pikir aku akan menciummu di tempat sepi ini?"

Pipiku memerah, aku tak tahu harus berkata apa. "A..aku. Ap.. Apa kau bilang? Siapa yang berfikiran seperti itu?"

"Lalu? Apa yang kau pikirkan?"

Dia sangat lancang. Berani-beraninya ia bertanya seperti itu pada seorang gadis yang baru ia kenal, tapi tak bisa kupungkiri, dibalik kelancangan, ia mempunyai pesona yang mengalahkan segalanya. Ah. Apa yang kau pikirkan, Sora? Sekarang kau terlihat bodoh!

Ia menaikkan sebelah alisnya, dan sekali lagi ia menyunggingkan senyuman antiknya di depan mataku seolah menunggu jawaban yang tak sabar ia dengar.

"Lupakan saja. Sekarang apa yang kau inginkan? Bagaimana caranya agar kau memaafkanku?"

"Aku akan memikirkanya nanti." Ia melipat kedua tangannya dan membalikkan badannya menyampingiku.

Beberapa menit telah berlalu dan dia tak mengatakan sepatah katapun. Ia hanya berdiri, menarik nafas dalam-dalam, sehingga udara dingin dipagi ini memasukki hidungnya. Mungkin ia akan terkena flu setelah ini. Aku terlalu takut untuk bertanya padanya. Jadi aku hanya bisa memandanginya dari samping. -Ia tetap terlihat tampan- ah, pikiranmu mulai kacau, Sora.

"Hey, bisakah kau mengatakannya sekarang? Kita akan ketinggalan pelajaran."

"Kita sudah ketinggalan sejak tadi."

Aku melirik jam tangan, mataku membelalak. "Tak usah terkejut seperti itu. Aku tahu, kau juga menikmati momen ini."

"Apa kau gila? Kau sudah membuatku ketinggalan pelajaran, kau sudah membuang waktuku, sekarang kau.."

"Jadilah temanku." Ia membalikkan badannya menghadapku, "Teman baikku."

He Caught Me In His ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang