BAB X

82 6 1
                                    

Ini sudah tiga hari semenjak aku berpisah dengan Arata. Beberapa hari ini ia tidak menampakkan batang hidungnya. Tak memberi kabar, dan tak sedikitpun orang yang berbicara tentangnya. Aku semakin khawatir.

"Sora, kau tak ingin ke kantin?" Ayuka muncul dihadapanku dengan wajah berseri-seri dan ramah. Selama aku disini, hanya dia yang sering mengajakku ke kantin. Yah, aku memang agak sedikit kuper. Aku belum terbiasa.

"Aku sudah lapar daritadi, Ayuka. Tapi aku menunggumu." Kataku berbohong.

"Hahaha. Maafkan aku, tadi aku harus menyelesaikan sedikit urusanku dengan beberapa teman dari kelas lain. Ayo cepat, nanti kita tak akan mendapatkan tempat duduk."

Aku lekas mengikuti gandengannya, dan segera melesat ke kantin. Kami mencari tempat duduk terdekat dengan tempat makanan.

"Aku harus ke kamar mandi. Kau makanlah duluan" Ayuka meminta izin, ia menyunggingkan senyuman manis dan memamerkan gigi gingsulnya itu.

Aku memandang kepergiannya, lalu memfokuskan kembali pikiranku pada makanan yang ada didepanku. Aku melahapnya dengan santai, tapi kemudian nama itu kembali muncul dalam pikiranku-tidak-bukan hanya namanya, tapi wajahnya, senyuman jahilnya, dan setiap kata-kata yang sudah terekam dan mungkin saja tak bisa terhapus dari memoriku.

Pikiran itu membuatku tak nafsu makan, dan sakit perut. Aku harus ke toilet.

Koridor demi koridor kulewati, sambil menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, mengecek, siapa tahu Arata ada disekitar sini. Aku melewati tangga atap. Tanpa ragu-ragu aku menaiki tangga itu-mengapa aku bisa melupakan atap?-, kalau saja Arata ada disana. Aku sangat berharap dia ada disana.

Pintu yang terbuat dari besi itu kudorong perlahan, menongolkan wajahku dan mencari keberadaan Arata disana. Tapi tidak ada. Kini aku melangkahkan kakiku melewati batas pintu, untuk memastikan bahwa dia benar-benar tak ada disini. Apa jangan-jangan ia sudah terjun kebawah? Tidak. Dia tidak bodoh.

Arata memang tak ada disini. Aku membalikkan badanku. "Aaaaa.. haah? Tidak." Aku berlari menuju ke balik pintu. Ada seseorang disana. Dia Arata, aku yakin sekali. Wajahnya penuh darah, ia terkulai lemas dilantai semen itu. Hanya berbalut kaos lengan panjang yang ia kenakan tiga hari yang lalu di cafe.

"Arata.. Kau dengar aku? Siapa yang melakukan ini padamu?" Aku menangis sejadi-jadinya, memeluknya dan meletakkan kepalanya diatas pahaku. Aku menekankan telingaku pada dada bidangnya. Ia masih hidup. Aku harus segera mencari pertolongan.

Ponselku tiba-tiba saja berdering. Dari Ichiro. "Halo. Ichiro cepatlah kemari. Ke atap aku butuh bantuanmu." Sebelum Ichiro mengatakan apapun, aku sudah berteriak minta tolong padanya.

"Apa?? Mengapa kau menangis? Katakan dengan jelas. Aku tak dapat mendengar suaramu."

Aku berteriak sekencang mungkin, menelan tangisanku. Aku tak peduli jika disana Ichiro mungkin akan tuli. "Cepatlah ke atap. Aku butuh bantuanmu." Aku mematikan panggilan dan segera melepaskan jaket hangatku dan membalutkannya pada tubuh Arata yang lemas dan dingin.

Ichiro tiba, dia mendapatiku sedang menangis. Tanpa mengatakan satu katapun, Ichiro berlari lagi kebawah, dan tak lama kemudian aku mendengar bunyi tangga yang diinjak oleh banyak kaki yang sedang terburu-buru.

Pasukan petugas ambulans datang dan dengan cekatan mengangkat Arata dari pelukanku. Memberikan pertolongan pertama, dan segera turun membawa Arata kedalam ambulans. Aku dan Ichiro mengikuti dari belakang. Semua orang disepanjang koridor memandangi kami. Para gadis terlihat sangat terluka, dan tak sedikit pula yang menjauh karena takut.

"Terimakasih, Ichiro. Aku akan menjelaskan padamu nanti."

Ichiro merangkulku, dan mengusap punggungku. "Kapanpun kau mau."

Saat seperti ini jiwa ke'abang'annyalah yang paling bisa kuandalkan. Ia memang suka mencampuri urusaku, tapi dia tak pernah merugikanku.

Aku menaikki taksi bersama Ichiro. Aku masih tak bisa menahan tangisku, air mata terus mengalir membasahi pipi dan rambutku yang terkena darah Arata. Sepanjang perjalanan aku terus berdoa, agar Arata dapat diselamatkan. Hatiku serasa diiris melihat darah disekujur tubuhnya, melihat pipi dan dahinya -dipenuhi darah yang sudah kering karena angin dingin- yang terluka karena benda tajam.

Didalam hatiku, aku berkata "Jika kau menyukaiku, bertahanlah Arata. Aku menunggumu."

**

He Caught Me In His ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang