BAB XVII

84 5 0
                                    


Aku membelalak kaget. Cinta?

"Maafkan aku. Ini sudah kali kedua di tempat yang sama aku membuatmu melebarkan matamu. Makanlah." Ia tertawa kecil. Apa ia hanya bercanda? Membuat hatiku terasa nyeri.

Kami keluar dari cafe. Salju yang turun malam ini membuat jalanan semakin sepi. Aku tidak mengatakan satupun kata ketika di cafe tadi. Ahh, aku sangat gugup.

"Kau menyukai Allred? Atau kata-katanya saja?"

"Bagaimana jika aku menyukai radionya?" 

"Hahaha. Kau sangat cerdas dalam menjawab pertanyaan." Kali ini tak hanya hembusan nafas yang ia keluarkan untuk mewakili tawanya, tapi suara, lengkungan bibirnya, dan senyuman yang memamerkan gigi putih bersihnya menjadi satu, memperlihatkan tawa lepasnya.

Seolah puas dengan leluconku barusan, aku juga ikut tertawa disampingnya. 

"Tak kusangka, kau mempunyai selera humor.." ia tersenyum geli dan masih dengan gaya yang sama, senyuman yang menggoda setiap wanita-terkhususnya aku-untuk saat ini- terpengangah dan tak bisa menggeserkan mataku pada objek lain. 

"Memang, kau tak sadar?"

"Jelas tidak. kau selalu menampakkan wajah murung saat melihat wajahku. Bagaimana bisa aku berfikir bahwa kau gadis yang humoris?"

Aku melengkungkan bibirku membentuk senyuman tipis, "Yah, itu salah satu sisi humorisku."

"Hah? Bagaimana bisa?" 

"Ichiro selalu tertawa puas jika wajahku sudah murung."

"Hahahaha. Kupikir dia abang yang baik. Ia sangat khawatir kemarin."

"Ah, benar. ada yang ingin kutanyakan, bagaimana kau bisa menemukanku ?" 

"Yah, kurasa kau yang menemuiku duluan. kau yang tiba-tiba datang, menubrukku, dan untungnya-"

"Buukan ituuu.." Aku mengatakannya dengan nada kesal, sebenarnya untuk menutupi wajahku yang sudah merah seperti udang rebus, atau apalah.

Arata malah terlihat senang melihatku, masih tertawa kencang- padahal ini tidak lucu sama sekali. huhh

"Waktu itu, Ichiro sedang menjengukku, kemudian ia pergi ke toilet dan tiba-tiba ponsel yang ia taruh dimeja berbunyi, dan aku melihat bahwa itu kau, jadi aku mengangkatnya dan betapa terkejutnya aku mendengar suaramu. Lalu aku mencoba melacakmu melalui nomor ponselmu, dan jadilah, aku menemukanmu."

"Ooh, jadi seperti itu ya."

"Ehem!" Kata Arata meng'iya'kan. "Untung saja waktu di lapangan itu kau menubrukku, jadi sekarang kau selamat."

Plak! Aku melayangkan telapak tanganku dan mendaratkan pukulan tepat dilengan kanannya. "Awwwww.. haahahaha"

Dia aneh. masih bisa tertawa sekarang? Tapi biar sajalah, aku suka ketika ia tertawa seperti ini, seolah tak ada beban dan terlepas dari segala tuntutan dunia. uuhh.

Aku terhenti tiba-tiba. Ada dorongan dari dalam tubuhku untuk melakukannya. Arata tetap berjalan pelan seolah masih terbawa suasana lelucon dan tak menyadariku. Mataku menangkap dengan jelas sosok Arata yang ada didepanku. Lelaki dengan kostum serba coklat dari mantel, kain yang melilit lehernya, sampai pada sepatu yang ia kenakan.

Rambut Arata kini agak sedikit berbeda, ia memangkasnya, membuat penampilannya terlihat rapih dan lebih dewasa dari biasanya. Ia tampak gagah dan kuat. Aku sangat bersyukur masih bisa melihatnya sekarang. Jujur saja, aku sudah membayangkan hal-hal buruk terjadi padanya ketika insiden beberapa hari yang lalu.

Otakku berputar pada kejadian-kejadian yang lalu, ketika aku dan Arata keluar dari cafe ini, dan berpisah entah bagaimana caranya, sampai pada saat aku menemukannya di atap sekolah dalam keadaan yang.. yah kau tahu, aku tak sanggup mengatakannya. sekarang, pada tempat yang sama, arah yang sama, namun posisi yang berbeda. Disaat aku hanya mampu memandangi punggungnya, seolah tak kuat menahan getaran kuat dari dalam tubuhku untuk memeluknya. Apa ini yang ia rasakan?

Arata berhenti, mungkin ia sudah menyadari bahwa aku tak mengikutinya.

"Eem, Arata?"

"Hm?" ia membalikan badannya ke arahku.

"Maafkan aku."

"Tak mau." Ia menggelengkan kepalanya seperti anak kecil sedang ditawari suatu yang tak ia sukai. "Kalau kau meminta maaf karena kau tidak menyukaiku, atau bahkan berjanji untuk tak menyukaiku, aku tak akan memaafkanmu."

Aku mendongakkan kepalaku, maju beberapa langkah kedepan -menuju pada seorang pria yang berdiri tak jauh dariku, sehingga lebih jelas retinaku menangkap bayangannya, dan melekatkan mata dengan iris hitam pekat milikku dimatanya. "Baiklah jika begitu."Spontan saja aku mendekatkan tubuhku padanya, dan mencium pipinya.

Aku merasakan pipi dan mataku memanas, membuatku berlinangan air mata yang tak sempat meluap sebelum aku mengedipkan kedua mataku. Bibirku bergetar, ketukan keras dari dalam dadaku sampai terdengar keluar, jika aku bisa mengecilkan volumenya, akan kulakukan. Aku tak kuasa menahan suasana saat ini.

Arata hanya terdiam, memandang heran, dan sedikit membuka mulutnya.

"Aku memang pernah berjanji untuk tidak menyukaimu. Tapi aku tidak pernah berjanji untuk tidak mencintaimu, Arata."

Seolah tersadar dari lamunannya, ia mengedipkan matanya beberapa kali dan menutup mulutnya sampai terdengar 'tuk' memperlihatkan ulah polosnya"Oh Tuhan. aku pasti sedang bermimpi." Dia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, menutup mulutnya dengan telapak tangan, tampak bingung, dan ini ekspresi terbaru yang kulihat darinya.

Aku memeluknya tiba-tiba sehingga membuatnya agak berjingkrak karena polahku. Sekarang ini aku dapat mendengarkan tempo jantungnya, dan bernostalgia dengan wangi khas Arata yang sudah kuhafal. Aku merasakan kehangatan dibalik tubuhnya, dan menyandarkan kepalaku di dada bidangnya. "Mimpi buruk kah? Atau indah?"

Arata membalas pelukanku, ia tak mengatakan apapun.

Lelaki didepanku ini hanya mempererat pelukannya, jari-jarinya bertautan di bagian belakang pinggangku, dagu sampai pada mulutnya menempel di pundakku. Aku seolah tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.

Tepat pukul tujuh malam, kami- aku dan Arata- berdiri di tengah turunnya salju, saling bertukar kalimat yang sebelumnya belum pernah kami lakukan. Semuanya tak pernah ada didalam bayanganku. Tapi kini Arata menambahkan banyak hal didalam pikiranku. "Mimpi terindah, sampai-sampai tak seorang pun dapat membangunkanku."

Tetap manis, selalu manis.

Kulingkarkan kedua lenganku dilehernya, berjinjit agar dapat meraihnya, sudah tidak peduli dengan sekeliling, tak berfikir lagi tentang apa yang akan dikatakan Ichiro jika ia tahu apa yang dilakukan adiknya saat ini, bahkan sudah lupa dengan hal buruk yang kulalui didalam rencana Ayuka. Yang hanya kuingat cuma Arata. Ketika pertama kalinya aku jatuh dipelukannya, kemudian menjadi orang pilihannya untuk menjadi teman, dan sekarang aku menjadi seorang wanita yang bisa mendapatkan pelukannya.. 

Duniaku sudah teralihkan.

Arata mendesiskan kalimat yang mengiris hatiku, "Jangan menghindariku lagi."

"Tidak. Tak akan lagi."


He Caught Me In His ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang