BAB XVIII

96 7 3
                                    

Seperti mimpi. Kau tahu kan rasanya? -Mungkin juga tidak. Senangkah? Atau menyesal? Kau mengakui perasaanmu dihadapan lelaki yang kau idam-idamkan setelah berjual mahal padanya. Aku tak memilih keduanya-tak memilih senang ataupun menyesal.

Bukannya aku tidak senang, tapi aku malu setelah ini terjadi, aku malu karena sudah berjual mahal padanya dulu-yahh, sebenarnya tidak juga. Lebih tepatnya menjauhinya. Ngomong-ngomong, aku juga tidak menyesal. Aku lega sekarang, beban didadaku serasa terlepas.

Mengingat kejadian tadi membuatku berguling-guling diatas tempat tidur yang tidak terlalu luas itu, sehingga menggelindingkan tubuhku beserta bantal guling yang tidak bersalah, polos, dan tidak tahu apa-apa terjatuh kebawah.

Aduh! Buk!

Aku terjatuh dengan posisi terlentang dan terdapat bantal guling diatasku. Hey bantal, kau berhutang padaku. Hei, hei. Jangan berfikir bahwa aku sudah tak waras sekarang. Aku hanya, tak tahu apa yang harus kulakukan. Uhh, so sad.

Aku tak tahu bagaimana tanggapan keluargaku tentang sifat canggungku ketika masuk rumah tadi, aku sudah memprediksi air muka Ichiro bahwa ia curiga padaku. Mungkin setelah ini ia akan masuk kekamarku secara tiba-tiba dan berkata 'hey, kau sangat mencurigakan. Jangan macam-macam."

"Soraaaa.." suara Ichiro terdengar sangat nyaring. Seperti ingin marah, atau mungkin bersemangat. Entahlah.

Jeglek.

Nah benar, kan? Ia masuk secara tiba-tiba, membuatku terperanjat dan segera berdiri dari lantai. "Hahaha. Ketahuan kau sekarang. Jangan khawatir, Mom tak akan kuberitahu.."

Oke. Kali ini aku salah dengan prediksinya. Tak seperti Ichiro yang kemarin-kemarin. Apa jangan-jangan Ichiro sedang jatuh cinta juga? Bantu aku untuk menjawabnya.

"Apa yang kau bicarakan? Dasar sok tahu!"

"Aku sedang membicarakan tentang Arata.. yuhuu!"

Aku hanya nyengir dan mendengarkan teriakannya yang tak tanggung-tanggung itu. Sambil menyanyi tak jelas pula. "Apa kau sadar bahwa barusan kau memberitahukannya pada dunia?" "Hah. Suaramu terlalu lantang untuk menyimpan rahasia, Ichiro."

"Wah, wah. Apakah itu sebuah rahasia?" "Ups. Jangan khawatir, Sora. Aku baru saja mengantarkan Mom ke rumah temannya, sedangkan Dad-"

"Keluar kota."

"Kau cerdas." Ia berbalik dan menutup pintu perlahan namun belum tuntas, ia kemudian berbalik dan menongolkan kepalanya di pintu. "Jangan macam-macam."

Nah, nah, nah. Sekarang aku benar kan?

Ichiro memang begitu. Aku tahu sebenarya Ia mendukungku, tapi ulahnya tadi itu menggangguku dan membuatku semakin merasa malu sekarang. Yah, Ia memang menyebalkan, terkadang aku membencinya sampai tak mau berbicara padanya untuk beberapa hari. Tapi pada akhirnya, aku yang menyajaknya bicara kembali, karena tak sanggup jika sehari tidak mendengar ocehannya. Aku benar-benar tahu, jika semua cewek selalu mengimpi-impikan seorang kakak lelaki yang perhatian-tampan, dan pada kasus ini aku merasa sangat beruntung, meskipun Ichiro sering-setiap hari membuat mulutku memuntahkan teriakan yang menyebut nama 'Ichiro' 'Mom' 'Dad'.

Sst. Kembali ke topik.

Apa yang harus kulakukan besok jika bertemu Arata? Teman-teman, bantulah aku, kalau-kalau saja kalian sudah lebih berpengalaman daripada aku tentang menembak seorang cowok.


Aku memasukki kelas dengan ragu-ragu, menuju ke tempat dudukku yang diujung kelas itu. Tak ada tanda-tanda Arata disana. huufft. Sedikit merasa kesal karena aku tak dapat melihatnya hari ini, tapi lega juga karena aku tak akan memperlihatkan wajah tersipu-sipuku padanya.

Tapi aku menemukan secarik kertas yang tergeletak diatas meja yang bertulisakan 'Atap.' Aku tahu ini pasti Arata. Aduh! Ke atap tidak, ya? Ke atap tidak, ya?

Oke, aku memberanikan diri untuk bertemu pacar baruku ini. Demi Tuhan, apa yang barusan kau pikirkan? Ia belum mengajakku berkencan. Sangat memalukan,Sora.

Tangga demi tangga kunaikki, jantungku berguncang-gucang. Aku membuka pintu yang sudah berdecit itu. "Selamat pagi, Sora."

"Ah, se.. selamat pagi, Arata." Aku bodoh sekali, kau terlihat gugup. Astaga, pasti Arata sudah melihatnya. Kau ini memang tidak pernah cerdas dalam mengendalikan ekspresi. "Ada apa?"

"Ada apa? Kau sedang mengatakan 'Ada apa?' "

Aku hanya diam dan mencoba untuk menormalkan kembali degup jantungku yang sudah takaruan ini. Disini tak ada orang, selain aku dan Arata. Tak ada satu katapun yang terpikirkan- atau bahkan yang numpang lewat dikepalaku untuk kujadikan bahan pembicaraan.

"Hey, apa kau sedang mencoba untuk membuang seorang cowok tampan yang baru dua belas jam lima menit yang lalu kau peluk?"

Tuh kan, dia memang sangat percaya diri. "Hm, maaf Arata. Tapi kita harus masuk kelas."

"Kau tak perlu malu seperti itu. Karena apa yang kau lakukan, sama sekali tidak salah, dan aku tak akan berubah sedikitpun-bahkan aku akan semakin mencintaimu."

Tanpa kusadari, bibirku sudah menyunggingkan senyum kebahagiaan, yang mengakibatkan Arata lagi-lagi menaikkan ali sambil menarik bibirnya membentuk senyuman khas seorang cowok ganteng bernama Arata. Aku berfikir apakah bagian pipi dan dahinya akan sakit jika dia tidak melakukan hal itu, sehingga ia terus melakukannya berulang kali dalam waktu yang tidak sebentar.

Tanpa disuruh, segerombolan kalimat sudah membuka kunci mulutku diam-diam. "Benarkah?"

Tanpa A-I-U-E-O Arata langsung menjawab "Tentu saja." "Oh iya apa nanti sore kau mau menemaniku bertemu dengan Allred? Aku harus mengucapkan salam perpisahan padanya."

"Memangnya dia mau kemana?" aku menyipitkan mataku sambil mencoba untuk meletakkan bokongku ke lantai. "Tunggu sebentar." Arata menghentikanku sebelum bokongku itu mengenai lantai. 

"Lantainya sangat dingin." Arata menggelar tikar tebal yang entah darimana ia dapatkan. Ngomong-ngomong, aku sangat merasa lucu dengan kelakuannya hari ini. sangat tidak seperti biasanya-kasar, pemaksa, dan kadang jahil.

"Oh terimakasih. Nah, dimana dan jam berapa kau akan bertemu Allred?" Arata datang, duduk disampingku, membuka jaket yang terbalut ditubuhnya dan menutupkannya pada kakiku yang tidak tertutup rok.

Aku ingin menolak dan kembali memberikan jaket itu padanya sebelum ia meletakkan kepalanya dipahaku sambil menyilangkan tangan didadanya. Aku tersentak dan membelalak, "Sebentar saja."

"Tapi.." Aku berusaha mengelak, namun Arata menarik tanganku dan meletakkannya didadanya "Sekarang kau pacarku. Tak ada yang dapat melarangku."

Agak ragu, aku pun melemaskan tubuhku yang tadinya tegang gara-gara Arata. Ternyata kami sudah berpacaran? Lonjakan dari dalam tubuhku memancing bibirku untuk membentuk sebuah lengkungan-hanya senyuman tapis, tapi berarti besar jika itu untuk Arata.

"Jam 7 malam, aku sudah didepan rumahmu."


He Caught Me In His ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang