"Kita sering sekali dihadapkan oleh pilihan hidup. Salah satu yang paling sulit adalah berjalan diantara pilihan yang kita buat"
Mentari berakhir telah di sempurna kan segala sesuatu yang harus dia kerjakan. Purnama telah menanti menjanjikan apapun yang tidak di berikan senja.
Ben bergegas pulang, waktu menunjukan pukul Delapan malam. Dia berkemas dengan Apron yang digulung rapih. Terlalu pahit menerima kenyataan Espresso yang dibuat di tolak oleh lidah seorang Coffee Couping, raganya terperosok masuk. Mencoba menahan yang telah di bawa pada kekecewaan jiwanya. Gelas-gelas menyoraki untuk segera bersudah pada kenyataan yang di pilih. Ragunya diantara persimpangan untuk bertahan pada kenyataan, atau berlanjut pada ke tidak pastian. Untuk kali pertama dia berdebat tentang sesuatu yang telah di takdirkan, sesuatu yang harusnya dia pertahankan sebagai prinsip seorang Lelaki ketika telah menentukan jalannya.
Petir mulai mendukung pertarungan yang terjadi antara perdebatan. Hujan seolah tidak mau ketinggalan dengan hal ini.
Ben masih saja terkapar diantara Mesin Espresso. Menatap Langit yang seolah memakannya pada Dimensi lain. Dia lelah dengan semua ini, perjuangan nya mendapatkan gelar Barista di Cafe ini tidak mudah. Sudah banyak Waktu dan Tenaga yang dia korbankan. Jika ini hanya sebuah ujian dia telah gagal ketika memilih, dan penghapus bukan jawaban yang tepat. Bagaimana dia memikirkan ada yang lebih penting dari menghapus, yaitu memikirkan jawaban apa yang selanjutnya yang harus dipilih.
Andai obsesi nya itu sederhana yang tidak melibatkan masa depan.
Hari berlalu Ben masih mengenakan Apron. Gelas Kopi ini masih mengijinkan Ben sebagai sesuatu yang berada di dalamnya, begitupun pelanggan yang mengunjungi Cafe, masih setia mendengarkan Ben berbicara mengenai Filsafat ataupun kata-kata yang tidak biasa di sebutkan oleh kebanyakan orang.
"Apa yang paling sering dilakukan Tuhan ? mengabulkan Doa bagi yang putus asa atau mengabulkan Doa bagi yang meminta Kesempatan"
Seorang Pria paruh baya membuat seluruh ruangan Cafe serentak terdiam, mencerna perlahan lalu seketika melirik kearah Ben, yang sedari tadi berbicara tentang kehidupan. Tidak heran Lelaki paruh baya ini memesan Doppio untuk menemani harinya. Membaca Koran mengenai Vonis yang telah di jatuhkan Hakim kepada salah satu Koruptor di Negeri ini. Ben tertegun sejenak, menggulung kemeja nya berharap ada sesuatu untuk dia ungkapkan pada Lelaki ini. Walau sebenarnya hatinya tidak akan pernah puas mengenai siapa yang berhak, karena dia sendiripun sedang dalam posisi seperti ini.
"Tolong, buatkan Lungo"
Suara pesanan meminta Triple Shoot Espresso. Orang stres macam apa yang meminta Lungo di hari yang panas seperti ini. Dengan cepat Ben membuatkan Kopi pesanan Lelaki Casual ini. sedangkan di satu sisi Lelaki paruh baya ini masih menunggu jawaban dari Ben, sambil menghisap Rokok dengan Nikotin dan Tar paling tinggi. Ben selesai dengan pesanan Lungo dan kembali menoleh pada Pria paruh baya ini. Ben tersenyum tipis, sambil menunjuk Lelaki Casual yang memesan Lungo.
"Kita tanyakan saja pada Lelaki itu, dia sedang dalam posisi seperti apa ? "
Lelaki itu pun menoleh kebingungan, memikirkan kata apa yang tepat untuk menggambarkan suasana hatinya saat ini.
"Saya menghilangkan kesempatan Tender ribuan juta dolar, yang harusnya bisa saya selesaikan tapi malah saya biarkan begitu saja"
Raut mukanya sederhana, tapi sungguh sangat bermakna. Paras bingung yang seketika berubah menjadi raut wajah yang penuh dengan kecewa. Ben tersenyum, sembari menoleh Pria paruh baya. Pernyataan ini membuat dia geram seakan tidak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kopi 2
AdventureBen ketika berumur 17 tahun selalu dihadapkan oleh pilihan sulit dalam hidupnya. kemunculan Dee sebagai wanita Pernacis membuat keadaan semakin tidak membaik. Petuah demi petuah dia terima dari geti nya sebuah kehidupan. Di satu sisi, Jody mengalami...