"Kalian sudah datang." Kalimat yang beliau ucapkan memang terkesan menyambut tapi diucapkan dengan sorot dingin dan tajam. "Duduk di sini, ada yang harus saya bicarakan dengan kalian bertiga."
Aku meneguk ludah gugup, perlahan aku berbalik dan menatap Reza. Kakakku itu cuma balik menatap sekilas, lalu ia berjalan mendahuluiku. Pelan tapi pasti, ia duduk di kursi paling pinggir, menyisakan kursi tengah untukku.
Aku menghela napas panjang, berjalan dan duduk di atas kursi kayu itu. Reza di samping kiriku, dan Dino di samping kananku.
Aku bersandar santai dan tenang, namun sekali lagi kutegaskan, jantungku berdegup kenang di dalam. Mulutku terdiam, mataku menatap ke arah sepatuku sendiri. Aku berusaha agar tetap santai.
Aku tidak bisa lagi bertahan menunduk lebih lama, kurasakan tatapan ayahku terlalu lekat hingga memaksaku mengangkat kepala dan menatap wajahnya.
Itulah Ayah, bisa mengintimidasimu bahkan ketika dia tidak bicara sama sekali, hanya menatap. Dan boom, kau tahu kalau dia sedang menyuruhmu untuk mengangkat kepala.
Marah, sedih, senang, kecewa bercampur jadi satu begitu kami mengunci pandang.
"Aidan Fardhika Nathala." Detik itu aku sadar suara ayah sudah berubah semakin serak. "Kau sudah berubah banyak, tinggimu bertambah sekali ya?"Aku cuma bisa mengangguk, entah kenapa, wajahku sama sekali tidak berniat mengeluarkan ekspresi apa pun.
"Dan kau, Reza." Ayah menoleh ke kiri. "Aku dengar nilaimu tidak naik tidak turun, tetap di posisi sedang-sedang saja, lumayanlan karena olahragamu menyeimbangi menjuarai peringkat satu umum."
"Dino, kamu pasti tidak tau kalau saya juga sering mengawasimu kan?" Langkah Ayah menjorok ke arah Dino. "Nilaimu di atas rata-rata, tapi belakangan ini kamu bandel." Aku sudah merasa kecil bahkan ketika tatapannya menajam kearah orang lain, bukan padaku.
"Sama seperti Aidan." Dan yah, bayangkan gugupku ketika sekarang tatapannya tertuju ke arahku. "Kalian berdua pintar, nilai di atas rata-rata, terampil, wajah menjamin, tapi ... kalian bandel, sangat bandel."
Aku yakin, walau setengah mati aku merasa ingin menonjok Dino, menendang, apalah itu, tapi aku bisa tahu sekarang dia juga gugup. Sama seperti aku dan Reza.
"Kenapa Ayah manggil kami ke sini?"
Duar.
Aku dan Dino otomatis menengok ke kiri bersamaan, terkejut bukan main dengan keberanian Reza yang entah datang dari mana.
Aku menyorotkan tatapan melebar kepada Reza. 'WHAT THE-?!' kurang lebih tatapanku mengatakan kalimat itu.
Namun Reza cuma menatapku tanpa ekspresi.
Jadi aku menatap lurus ke depan, memandangi ayah yang sekarang tersenyum aneh kepada Reza. "Saya kan sudah bilang, nak. Saya mau menyampaikan sesuatu kepada kalian bertiga."
"Mulai dari Dino dulu." Ayah melangkah ke depan Dino.
DEG.
Pasti Dino sekarang takut bukan main. Cowok berahang tegas yang membuat mataku muak itu menunduk, tidak menatap wajah Ayahku. Dan itu cukup untuk membuatku puas.
Hingga sial menimpaku, aku tidak sengaja cekikan kecil. Hingga semua pasang mata menatapku.
Aku menelan ludah. "A-apa?" tanyaku.
"Jangan menertawakan saudaramu Aidan," ucap Ayah, menghadiaiku tatapan tajam hingga membuatku terdiam membisu. "Jadi, ehm Dino dan Aidan."
PLAK!
![](https://img.wattpad.com/cover/57250349-288-k891178.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketcher's Secret
Teen Fiction(Completed) Bagi orang-orang lain, Aidan itu; -Cakep -Suka musik dan basket -Agak pendiam -Suka bawa buku sketsa ke mana-mana Tapi bagi Anya, Aidan itu; -Tidak hanya cakep, tapi juga ramah dan punya senyum yang manis. -Tidak hanya sekedar suka...