13. Ambisinya

214 19 1
                                    

Kamar Dev, 19:00 WIB.

Sebuah suara bergema di sebuah ruangan yang terlihat sederhana, suara itu adalah suara Dev, dia sedang bernyanyi bersamaan dengan petikan gitar yang dia mainkan.

Biasanya, Dev akan bernyanyi sesuai dengan keadaan moodnya. Kini, dia merasa sibuk dikarenakan tugas-tugas ketua OSIS yang sangat menumpuk, menjadikan dirinya kelelahan.

"But I know I was happier with you," nyanyiannya terdengar indah disertai senyumannya setelah petikan gitar yang Dev lakukan.

'Sometimes we know everything will be okay. But, this is changed, everything has changed' batin Dev.

"Sebenarnya, kita sendiri yang membuat semua berubah," kata seorang wanita menghampiri Dev.

"Maria, lo ada perlu apa kesini?"

"Mungkin sesuatu yang harus gue lakukan?" Maria berjalan mendekati figura kecil di samping tempat tidur Dev. "Cih, lo masih ngarepin dia?"

"Ya, kenapa?" ucap Dev bernada seperti menantang lawan bicara.

"Gue gak mau keluarga gue deket sama dia. Sekalipun kakak lo atau pun-"

"Keluar!" perintah Dev.

Maria tertawa kecil. "Gue yang akan buat kalian saling menjauh satu sama lain." ancamnya sambil berjalan keluar.

"APA HUBUNGANNYA SAMA LO!" teriak Dev, mendekati Maria dan mendorong tubuhnya ke dinding.

"Argh! Sakit Dev!" ringis Maria.

Dev mulai mendekati tubuhnya dengan tubuh Maria, sedangkan tangannya meremas lengan Maria.

"Lo berani nyentuh dia? Gue kirim lo kembali ke Swiss!" Dev mengatakan itu dengan penuh emosi.

"Swiss? Cih! Gue gak akan pernah bisa kembali kesana,"

"Dengar! JANGAN SENTUH DIA!"

"Wooo...Segitunya ingin melindungi dia? Memangnya dia nganggep lo apa? Cuma luka!"

Mendengar perkataan Maria, membuat Dev semakin marah dan memaksa Dev untuk mendorong tubuh Maria ke lantai.

Maria berusaha bangkit akibat dorongan Dev. Tapi karena itu, dia semakin kuat dengan ambisinya.

"Apa harus gue minta kakek buat mindahin lo ke sekolah lain?" tanya seorang laki-laki meraih lengan Maria.

"Gausah ikut campur," kata Maria sambil melangkah maju, sedangkan laki-laki itu melangkah mundur.

"Gue yang memegang kendali di rumah ini, wahai sepupu kurang ajar," laki-laki tersebut maju dan menarik lengan Maria dengan kasar agar dapat membawanya keluar.

***

"Naya, bangun! Kamu harus sekolah!" perintah Joe sambil berjalan meninggalkan kamar Naya.

"Ya..."

Naya memerhatikan sekelilingnya saat dia terbangun dengan kedua mata benar-benar terbuka.

Dia meneliti jam di dinding hingga melewatkan lima belas menit yang terbuang sia-sia.

Joe memasuki kamar Naya, "Naya! Papa bilang kamu harus sekolah hari ini. Jangan melamun!" kata Joe menyadarkan Naya.

Naya segera berjalan menuju kamar mandi.

Sekitar dua puluh menit, Naya sudah rapi dan bergegas memasuki mobil. Sebelum itu, dia membuka pintu mobil. "Pagi abang!" sapaan biasa yang dipakai Naya di pagi hari.

Naya terkejut karena yang duduk di kursi pengemudi bukan abangnya melainkan papanya. "Loh, papa ngapain disini?" tanya Naya.

"Papa yang akan antar kamu."

Naya merasakan canggung selama perjalanan, pasalnya Joe belum membuka pembicaraan. Sedangkan Naya, sibuk dengan rasa kantuknya.

"Kamu ingat apa yang terjadi kemarin?" Joe berusaha membuka pembicaraan.

Naya menggeleng. Benar, dia lupa tentang dirinya pergi meninggalkan rumah sakit, berjalan dan bersikap layaknya orang gila, tertawa bahkan berteriak.

"Tapi...Aku gak lupa tentang-"

"Apa?"

"Ada orang yang mencoba membunuhku."

Joe memberhentikan mobilnya dengan mendadak. "Astaga! Kenapa kamu selalu membahas itu?"

"Tolong cari pelakunya dengan cepat, Pa." pinta Naya memohon.

"Biarkan polisi yang mengurusnya!"

"Pa...dia bisa saja membunuh mama."

***

Bel istirahat berbunyi, kemudian diikuti dengan cuitan para siswa yang berada di kelas IPA 3.

'Huft, akhirnya Ya Tuhan!'

'Sial, gak jelas banget ulangan tadi.'

'Bisa gak si langsung remed gitu.'

'Lelah hayati.'

'Istirahat ngapel kakel cogan boleh ga si?'

'Duh butuh asupan!'

'Dev, ke ruang OSIS nanti!'

Yuna mendekati Naya yang sedang melamun. "Naya! Lo beneran gak apa-apa?"

"Iya elah."

Lerana mendatangi keduanya dan ikut nimbrung. "Lo kayak orang gila kemaren."

Naya hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Sebenarnya, Babas sama Rayn punya masalah yang-"

"Apa?"

***

Yuhuuuuu...Jangan lupa vote dan komen.

With love,
Vine



Everything Has Changed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang