14. Telat bareng

1.8K 118 0
                                    

Menghirup udara pagi di rooftop sekolah itu kegiatan yang sangat menyenangkan bagi Fariz. Seperti yang dia lakukan sekarang, berdiri dengan mata terpejam dan tangan yang direntangkan. Menikmati udara pagi dan pemandangan sekolah.

Fariz tersenyum saat melihat salah satu sahabatnya sedang berjalan dari arah parkiran. Ia menunduk untuk mengambil kerikil kecil lalu dilemparkan ke arah sahabatnya.

"Anjir," Rifki mengusap kepalanya lalu mendongak ke atas, ke arah rooftop. Ia tahu itu ulah si tay alias Fariz.

"O-ow. Sakit nggak bang?" teriak Fariz dari atas diikuti suara tawanya.

"Berisik lo, tay!"

Rifki berlari, berniat untuk menghampiri Fariz. Tapi sepertinya, ada hal yang lebih menarik daripada memukul kepala Fariz dengan tangannya langsung. Dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat Iren sedang memangis. Seorang Iren menangis? Why?

Rifki menghampiri Iren yang sedang berdiri dipojok koridor menuju kelas IPS. Walaupun cewek itu menunduk, Rifki bisa mengenalinya. Ia berjalan pelan-pelan mendekati Iren lalu berdiri di sampingnya.

"Kenapa?" tanya Rifki pelan.

Suara isak tangis berhenti. Iren mematung. Bahkan, sepertinya dia menahan napas. Rifki mendecak lalu menarik Iren ke dalam pelukannya. Entah apa yang Rifki lakukan, tapi hanya hal itu yang ada dipikirannya. Memeluk Iren.

Isak tangis Iren kembali terdengar, Ia menenggelamkan kepalanya pada dada Rifki tanpa membalas pelukan Rifki.

"Kenapa?" Rifki mengulang pertanyaan yang sama.

Iren menggeleng dalam pelukannya. Perlahan-lahan, Iren melingkarkan tangannya pada pinggang Rifki dan tangisnya pun semakin keras.

Rifki gelagapan mendengar tangis Iren yang semakin kencang. Ia membawa Iren ke lapangan indoor, tempat yang paling dekat dengan tempatnya berdiri sekarang.

"Ren ... udah dong nangisnya. Lo kenapa bisa nangis gini sih? Siapa yang bikin lo nangis?" Rifki mengusap puncak kepala Iren.

Iren terisak kecil lalu menggelengkan kepalanya.

Rifki menghela napas. Dia membiarkan Iren berada dipelukannya sampai cewek ini berhenti menangis.

Bolos pelajaran pertama itu sudah pernah Rifki lakukan, dan ia santai-santai saja dengan hal itu. Dan cewek yang ada dipelukannya juga sepertinya tidak memikirkan pelajaran.

Sudah 15 menit berlalu, Iren masih bertah berada dipelukan Rifki. Untungnya Rifki berdiri di dekat tembok, jadi ia bisa menyenderkan badannya pada tembok supaya tidak pegal.

"Berat," ceplos Rifki.

Iren melepaskan tangannya yang melingkar dipinggan Rifki. Lalu melangkah mundur, dan otomatis, tangan Rifki pun terlepas dari tubuh Iren.

"Sorry," Iren menundukan kepalanya.

Rifki yang tadi keceplosan pun bingung harus bagaimana. Awkward moment nih pasti. Harus ngapain nih gue, batinnya.

Setelah sekitar lima menit berpikir apa yang harus dilakukan, Rifki tersenyum lebar lalu menatap Iren yang sedang menunduk, "Berat ... berat ... beratda dipelukan mu mengajarkanku akan artinya kenyamanan kesempurnaan cinta .... Berdua bersama mu mengajarkan ku akan artinya kenyamanan kesempurnaan cinta...."

Iren tertawa kecil lalu mengusap sisa air matanya. Dia memperhatikan cowok di depannya, sejak cowok itu mulai bernyanyi.
"Fals," cibir Iren diikuti kekehan.

"Ck. Kalo gue tau lo bakal ketawa mah, dari tadi gue bilang beratnya." Rifki menyenderkan kepalanya ke tembok.

"Ish. Lo tuh ya."

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang