27. Waktu

1.6K 99 4
                                    

Sekolah masih sepi, hanya ada beberapa murid yang sudah datang. Rifki sengaja datang lebih pagi dari biasanya agar bisa menghindar dari pertanyaan sahabat-sahabatnya. Dia menyimpan tas di atas meja lalu berjalan keluar kelas menuju rooftop.

Dia memperhatikan keadaan sekolah yang sudah lumayan ramai dari atas rooftop. Dan saat melihat ke arah gerbang, dia melihat Iren baru saja keluar dari mobil. Dia berbicara sebentar pada sopirnya lalu berjalan memasuki halaman sekolah.

Tidak ada yang berbeda dari Iren. Dia berjalan dengan santai, balas menyapa saat ada yang menyapanya.

Iren membalikan badan saat pundaknya ditepuk dari belakang.

Nathalie tersenyum lebar lalu merangkul Iren. Sepertinya Nathalie menannyakan sesuatu pada Iren, tapi Iren tidak mau mejawabnya.

"Pengamat yang baik."

Rifki terlonjak kaget saat mendengar suara tersebut.

"Kenapa lo sama Iren?"

Rifki mendengus mendengar pertanyaan yang Fariz lontarkan.

"Kita nggak kenapa-napa."

"Lo nembak dia, Ki. Masa iya nggak ada kejadian yang waw gitu?"

Rifki mendecakkan lidah, "Iren marah sama gue. Dan kalimat terakhir yang dia ucapin sebelum masuk ke rumahnys itu, 'kita sahabat'."

"Waw. Prenjon ya? Kasian," Fariz tertawa pelan.

"Awas kalo sampe entar lo ngalamin hal yang sama kayak gini. Gue bakal jadi orang pertama yang ngetawain. Inget itu!" ucap Rifki kesal. Dia berjalan meninggalkan Fariz.

🎈🎈🎈

Jam pelajaran pertama sudah dimulai, Rifki dan Fariz memasuki kelas diikuti oleh guru di belakangnya.

"Kenapa kalian baru masuk?"

"Saya dari kamar mandi tadi, Pak." jawab Rifki.

"Sama, saya juga." Fariz tersenyum lebar.

Pak guru yang mendengar alasan itu hanya menggelengkan kepalanya.

Rifki melihat ke arah Iren yang sedang mengobrol bersama Nathalie. Mata Iren sedikit sembab.

"Baiklah, kita lanjutkan materi minggu kemarin yang belum terbahas."

Dan semua murid di kelas 11 IPA3 pun fokus menyimak materi yang sedang dijelaskan.

🎈🎈🎈

Jam istirahat berbunyi sepuluh menit yang lalu, Iren dan Rifki masih duduk di tempat mereka masing-masing tanpa berniat untuk beranjak sedikit pun.

"Gue minta maaf soal kemarin. Gue tau kita sahabat, tapi rasa cinta gue ke lo itu udah ada dari dulu. Setahun yang lalu, sebelum lo kenal gue. Disini cuma gue yang tau tentang lo, lo nggak tau apa-apa tentang gue."

Iren hanya diam mendengar ucapan Rifki.

"Mungkin ini yang namanya cinta sendirian. Sakit ya ternyata," Rifki tersenyum miris.

"Gue tau apa yang lo pikirin," lanjut Rifki. "Kalo nanti kita jadian dan akhirnya putus, lo takut kita nggak bisa jadi sahabat lagi. Iya 'kan? Tapi Ren, sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Intinya yang sekarang gue tau adalah, gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo. Kalo masalah nanti ke depannya gimana, biarin waktu yang nentuin. Kita cukup menikmati."

Iren menghela napas, "Udah ceramahnya?"

Rifki menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Iren, "Digituin sakit lho, Ren. Coba deh lo jadi gue, pasti sakit."

"Kasih gue waktu." ucap Iren akhirnya.

Rifki tersenyum senang, ia menganggukan kepalanya lalu mengusap puncak kepala Iren pelan, "Makasih. Gue harap lo nggak ngegantungin gue dengan waktu yang lama."

Iren menganggukan kepalanya lalu melirik tangan Rifki yang masih ada di atas kepalnya.

"Maaf," Rifki nyengir.

🎈🎈🎈

Hanya tersisa dua bangku kosong di kantin. Nathalie dan Fariz membeli pesanan mereka lalu berjalan menuju bangku tersebut.

"Boleh gabung?" tanya Fariz.

"Eh Riz, boleh kok boleh. Duduk aja."

"Makasih Ayna," Nathalie duduk diikuti Fariz, "gila ya, kantin penuh banget. Kalo gue nggak kelaperan sih, mending gue diem di kelas."

"Nah iya setuju," Fariz meminum minumannya.

"Iren sama Rifki ke mana?" tanya Andre.

"Di kelas." jawab Nathalie dan Fariz kompak.

"Cie ....." Ayna tertawa kecil melihat Fariz dan Nathalie yang saling mendelik.

"Ngikutin gue aja lo."

"Apaan sih, Nath? Gue terus yang salah."

Nathalie menjulurkan lidah lalu menghabiskan makanan pesanannya.

🎈🎈🎈

Setelah pulang sekolah, Nathalie meminta ketiga sahabatnya untuk main ke rumahnya. Dan sekarang di sinilah mereka, di rumah Nathalie, di ruang tamu lebih tepatnya.

Fariz berdehem, "Gue mau nanya, beneran lo nembak Iren, Ki?"

Nathalie dan Iren yang tadinya sedang mengobrol pun diam mendengar pertanyaan Fariz.

Rifki mengangguk.

"Terus gimana?" Nathalie menatap Iren dan Rifki bergantian.

"Nggak gimana-gimana," jawab Iren santai.

"Kok lo berdua biasa aja?" Fariz heran.

"Lo nggak tau aja sikap Iren sama gue jadi berubah, Riz." Rifki berbicara seolah-olah tidak ada Iren di situ.

"B aja." ucap Iren ketus.

"Udah ah, ganti topik," Nathalie mengibaskan tangannya.

"Gue nggak mau pershabatan kita rusak cuma karena masalah cinta." ucap Iren tiba-tiba.

Rifki, Fariz, dan Nathalie terdiam mendengar ucapan Iren.

"Cinta bisa datang tanpa diduga siapa pun. Entah kapan, dimana, dan pada siapa, hanya waktu yang tau."

"Lo ngapain?" tanya Fariz pada Nathalie.

"Quotes," Nathalie nyengir.

"Nggak ada salahnya sahabat jadi cinta, Ren. Kalo pun entar kalian putus, ya itu gimana nanti. Tapi kalo emang kalian jodoh gimana? Udahlah, jadian aja lo berdua." Fariz menunjuk Iren dan Rifki.

"Lo suka sama gue?" tanya Rifki pada Iren.

"Iya dia suka sama lo. Cinta malah, bukan cuma suka."

"Kok lo yang jawab, Nath?" Fariz menaikan sebelah alisnya.

Nathalie tersenyum lebar, "Karena gue tau. Dan gue emang selalu tau."

Setelah terjadi hening beberapa menit, Fariz mengedipkan sebelah matanya pada Nathalie.

"Apaan sih?" tanya Nathalie tanpa suara.

Fariz menunjuk-nunjuk Iren dan Rifki yang saling diam satu sama lain.

"Gue mau pulang." ucap Iren dan Rifki barengan.

Nathalie dan Fariz tersenyum lebar.

"Kita berdua nunggu pajak jadian aja deh ya," Fariz memainkan kedua alisnya lalu tertawa.

"Apaan sih?" ucap Iren kesal.

*****

About UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang