Prolog

22.6K 571 5
                                    

Puncak kehinaan wanita ketika dia menerima tembakan seorang lelaki untuk jadi kekasihnya.
Puncak kemuliaan wanita ketika orang tua/walinya mempertimbangkan lamaran seorang lelaki untuk jadi istrinya.
Hancurkan harga diri dengan pacaran, muliakan diri dengan …
-Irgunawan dalam Sodiq (2007:212)-

Pernikahan. Ya, kata ini yang sebenarnya menjadi kata akhir di kalimat terakhir tulisan itu. Namun sang penulisnya sengaja membuat kita yang melanjutkannya agar kata itu lebih mensugesti pikiran kita untuk tidak berpacaran. Dan benar saja, ketika aku membaca tulisan ini lalu merampungkan kalimat terakhirnya, aku menjadi ragu untuk menjalin hubungan yang ikatannya hanya sekadar ‘pacaran’. Dan keraguanku semakin kokoh sejak aku menempelkan tulisan ini di sisi dinding yang berdekatan dengan cermin dalam kamarku. Aku memutuskan untuk tidak lagi berpacaran karena tulisan ini.

Selama ini, aku berusaha sekuat mungkin untuk kokoh dengan keputusan itu. Tetapi perlahan roboh ketika aku berjumpa dengan dia yang baru saja kukenal dua bulan lalu.
Dia yang menurutku berbeda. Ketika semua orang tidak mempersalahkan kopi sebagai minuman favoritku bahkan mendukung aku untuk menuliskan tentang kopi, dia justru hadir dengan sejuta pertanyaan tentang kopi. Dia khawatirkan kesehatanku yang terancam karena terus mengkonsumsi suspensi pahit berkafein tinggi itu. Entah mengapa? Karena dia, aku rela melanggar semua prinsip yang aku buat sendiri.
Satu bulan lalu, kami menembus angin di bawah cahaya rembulan dengan satria yang dia bawa lari kencang karena sedang memburu waktu menuju sebuah acara kesusastraan. Dia mengemudi kencang namun obrolan yang kami jalin membuat suasana menjadi santai. Saat itu aku merasa ternyata selain berbicara sambil saling melemparkan sorot pupil yang selalu membuatku merasakan debar yang luar biasa di dada, mengobrol sambil memandang bahunya dengan jarak dekat, juga jauh lebih menyenangkan. Bahkan tanpa sadar membuatku tidak merasa risih sama sekali untuk menompangkan dagu di atas bahunya. Aku sama sekali tidak merasa berdosa untuk bersandar ke punggungnya. Sebelumnya, untuk berganti-gantian memakai sendok dengan makhluk yang berlabel laki-laki saja, aku tidak pernah mau. Tetapi dengannya, bahkan saling bersuap-suapan menggunakan satu sendok yang sama pun, aku tidak merasa berdosa. Padahal, aku tahu mungkin aku bukan yang pertama melakukan hal-hal seperti itu dengannya. Sedangkan dia, adalah yang pertama melakukan semuanya itu denganku.

Entahlah. Dia tiba-tiba saja datang memberikan rasa baru yang belum bisa aku definisikan. Aku bahkan tak pernah bisa menganggapnya hanya sebagai teman, sahabat, Kakak laki-laki, guru ataupun hanya sekadar senior.

Aku tahu apa yang telah kulakukan itu salah. Tetapi itu semua karena didorong oleh rasa bahagia yang hadir ketika aku berdekatan dengannya. Jika pernikahan menjadi solusi, maka itu terlalu dini untukku. Lagipula, aku sangat yakin bahwa dia tidak punya perasaan khusus padaku.

Dan untuk menunggu hingga aku siap dengan pernikahan, itu terlalu lama. Sekarang aku sudah sangat ingin memiliki pasangan sebagai kekasih. Namun masih terlalu jauh kesiapanku untuk menyempurnakan keinginanku ini dengan hubungan pernikahan.

Aku merasa bingung saat ini. Kebahagian yang kurasakan seolah datang bersama rasa berdosa yang juga membuatku menderita. Apa ini? Bukankah cinta datang tanpa permisi menghapiri siapa saja? Dan bukankah pernikahan adalah hal yang pada waktunya, pasti akan diinginkan setiap orang? Sedangkan waktu pernikahan itu, bukankah Allah sendiri yang menentukannya? Lalu mengapa aku dibuat bingung dengan kata cinta dan pernikahan? Mengapa aku didatangkan rasa bahagia yang terselip dosa di dalamnya?

My Husband Not Only Handsome (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang