Enam Belas

3K 146 0
                                    

Selesai pengajian, azan Isha pun dikumandangkan. Menyapa penduduk bumi untuk melaksanakan shalat Isha. Para jamaah yang sudah di masjid sejak pengajian tadi, termasuk aku segera bersiap-siap untuk shalat ketika azan selesai. Iqamat pun dikumandangkan. Kak Fariq kembali didaulat menjadi imam. Suaranya yang fasih dan nada tartil dalam bacaannya membuat seluruh makmum di masjid dan orang-orang di sekitar masjid yang mendengarnya, merasakan getar di hati. Rasanya suara Kak Fariq membuat mereka yang belum menunaikan shalat Isha segera bangkit dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu melaksanakan shalat Isha. Saat sampai di luar masjid dan berjalan menuju parkiran motor, tiba-tiba ada seorang remaja putra yang memanggil Kak Fariq dan berjalan ke arah kami.

“Kakak sudah mau pulang?” Tanyanya. Lalu beberapa remaja lain juga ikut menyapa dan menjumpai kami.

“Iya, ini mau pulang. Memangnya kenapa?”

“Oh gitu ya? Kebetulan kami akan mengadakan rapat untuk kegiatan malam pentas remaja. Kami sangat senang kalau Kakak bisa memberikan masukan di rapat nanti”

“Oh, Kakak minta maaf. Kakak tidak bisa. Tapi Kakak yakin kalian pasti  punya ide-ide cemerlang. Dengan atau tanpa adanya Kakak, pasti bisa. ”

“Oh, yasudah deh. Eh iya Kak, ini…” Remaja putra itu memberikan sebuah amplop putih kepada Kak Fariq.

“Yaampun. Apa-apaan ini? Tidak. Kakak tidak mau terima. Kakak kan dulu juga IPM di sini. Tidak perlu seperti ini.” Tolak Kak Fariq.

“Ayolah Kak, terima. Ini memang sudah ada jatahnya untuk setiapkali pengajian.”  Kata remaja putra itu.

“Baiklah. Kalau begitu.” Kak Fariq mengambil amplop itu, lalu kemudian berkata lagi, “sekarang amplop ini kan sudah jadi milik Kakak kan? Nah sekarang Kakak mau memberi infak kepada IPM di sini. Ini,” Kak Fariq mengembalikan amplop itu lagi.

“Lho? Kenapa kembali ke kami lagi?”

“Bukan ke kalian. Tetapi ke IPM. Gunakan uang ini untuk keperluan kegiatan IPM di sini.”

“Terimakasih ya Kak.”

“Iya sama-sama. Yasudah, Kami pulang dulu ya, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku dan Kak Fariq berjalan menuju motor kami. Segera naik dan meninggalkan area masjid.
Langit tiba-tiba saja mendung. Angin otomatis juga semakin kencang. Hawa dingin menjalari tubuh.

“Alwa, kamu kedinginan?”

“Ya. Tetapi aku suka.”

“Benarkah?”

“Iya. Aku lebih suka kita naik motor seperti ini dari pada mobil.”

“Oh ya? Tetapi nanti kamu sakit lho,”

“Ah. Tidak. Tubuhku ini tidak rentan terkena penyakit.”

“Jadi kamu mau besok kita juga naik motor?”

“Iya.”

“Mm, baiklah. Aku juga lebih suka naik motor dari pada mobil. Namun keselamatan kita lebih terjaga kalau naik mobil.”

Akhirnya kami tiba di rumah, Bu Mari langsung menawarkan makan malam. Meja makan sudah dipenuhi dengan makanan. Aku dan Kak Fariq langsung makan malam. Sepertinya Kak Fariq sudah kelaparan. Dia tampak sangat lahap sekali menyuapkan nasinya.

Usai makan malam, aku dan Kak Fariq duduk santai di ruang TV. Tidak benar-benar santai juga. Sebab Kak Fariq sedang mengerjakan pekerjaan kantornya dan aku menemaninya sambil menikmati secangkir kopi.

My Husband Not Only Handsome (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang