Enam

7.4K 392 1
                                    

Malam ini adalah seolah malam paling indah. Kak Fariq langsung membawaku ke rumah yang memang sudah disiapkannya. Awalnya keluarga meminta agar kami menunda dulu dan menginap di rumah keluargaku sehari lalu di rumah keluarga Kak Fariq sehari kemudian barulah pindah ke rumah baru. Tetapi Kak Fariq meyakinkan mereka semua dan kami pun langsung malam ini juga bergerak ke rumah baru.

Di bawah rembulan, kami menikmati pemandangan malam melalui kaca mobil. Keindahan kota terpancar sempurna saat di malam hari. Lampu-lampu jalan bersinar terang dan indah dengan cahayanya yang beberapa berwarna-warni. Taman-taman, restoran dan tempat-tempat lainnya yang ada di sepanjang jalan, dipenuhi dengan muda mudi yang bercengkarama dan pasangan-pasangan yang saling menunjukkan kemesraan dengan caranya masing-masing, ada juga beberapa keluarga harmonis yang terlihat sangat hangat bersama anak-anak mereka. Penataan kota yang tidak semerawut membuat pengendara tidak merasa jenuh saat di jalan. Bisa menyaksikan keindahan kota yang tentunya berbeda saat siang hari.

Jalanan mulai terasa semakin lenggang. Kak Fariq membelokkan mobilnya memasuki sebuah gapura yang terlihat sangat megah dan tampak memiliki sedikit sentuhan Yunani. Ada seorang lelaki yang kira-kira sebaya dengan ayahku, menyambut kami dan membukakan gerbang untuk kami masuk. Kak Fariq menurunkan jendela mobilnya dan tersenyum pada lelaki yang berpakaian hitam-hitam ini.

Setelah memasuki gapura tadi, tampak sebuah bangunan dengan arsitektur yang unik juga elegan. Seperti sebuah kastil dalam balutan dinding bata bewarna krem dengan satu setengah meter pembatas pagar mawar putih yang ditanami dengan penataan rapi namun alami di sekeliling bangunan kecuali dipintu masuk utama. Sebuah pancuran mewah teletak sempurna di beberapa sisinya.

Kak Fariq menginjak rem. Ketika pintu mobil dibuka, sepertinya malam yang dingin dan berangin menyambut kami. Terlihat halaman luas bagaikan padang rumput dengan beberapa pohon yang tumbuh membentuk siluet-siluet dalam kegelapan. Dua patung berukuran kira-kira satu meter bergaya Yunani klasik juga menghiasi pintu utamanya. Aku terpaku melihatnya. Membeku takjub. Terpukau dalam kejut pesona.

“Kamu suka?” Tanyanya.

“Ya. Aku sangat suka.”

“Ayo masuk!”

Sesampai di dalam, kami disambut oleh perempuan yang sangat keibuan auranya.

“Assalamualaikum.” Kata Kak Fariq dan kemudian aku juga ikut.

“Waalaikumsalam. Selamat datang Tuan dan Nyonya.” Kata perempuan itu sopan.

Aku masih terpesona dengan interior bangunan yang mulai malam ini akan menjadi tempat tinggalku. Bernuansa putih dengan sedikit perpaduan coklat, krem dan abu-abu. Cukup luas dan besar.  Yang membuatku semakin menyukai bangunan ini adalah, banyak sisinya yang berdindingkan kaca dari dasar sampai sampai setengah meter dari atas dan terpasang gorden bewarna krem yang saat ini masih belum tertutup, sehingga pemandangan malam diluar masih bisa dinikmati .  Dan yang membuatku cukup terkesan adalah ruang tamu yang lantainya diturunkan setengah meter sehingga saat kita ingin ke duduk di sofanya maka harus menuruni sebuah tangga rendah, sekadar tiga anak tangga. Tampak banyak mawar putih menghiasi meja-meja yang ada. Properti-properti lainnya juga sangat padu dengan bangunan ini, tampak sederhana namun terkesan elegan. Luar biasa.

“Alwa,” suara Kak Fariq sedikit mengagetkanku, tetapi untungnya kesadaranku tetap tetap terjaga.

“Ya?”

“Kenalkan dia ini adalah Bu Mari. Dia yang akan membantu-bantu kita di rumah ini. Suaminya adalah Pak Adi yang tadi membukakan gerbang untuk kita. Mereka ini sudah bekerja di keluarga Kakak selama hampir lima belas tahun. Sudah seperti keluarga sendiri.”

“Oh, iya. Saya Alwa Bu.” Aku pun tersenyum sambil menjabat tangannya. Dia pun menyambutnya dengan sangat ramah.

“Iya Nyonya. Saya Mari.”

“Ada juga yang namanya Darto, dia akan membantu menangani kebun. Dia adalah anak Pak Adi dan Bu Mari. Tetapi tidak tinggal di sini. Dia sudah berkeluarga.”

“Oh begitu,”

“Yasudah, kita langsung ke atas saja ya. Kamu pasti lelah kan? Ayo!” Ajak Kak Fariq.

Kami menaiki tangga. Dan pada anak tangga ke sembilan aku kehilangan keseimbangan. Tak bisa kutapaki sempurna anak tangga itu. Tumitku terpeleset dan aku seperti melayang ditarik ke bawah. Namun dalam hitungan kurang dari satu detik, tangan Kak Fariq menahan pinggangku dari belakang. Tangannya yang satu lagi menyangga tubuhku agar tidak jatuh.

“Hati-hati Alwa.”

“Iya Kak. Maaf.”

“Apa perlu aku gendong sampai ke atas? Hah?” godanya dan membuat pipiku merona malu.

“Tidak.” Kataku singkat lalu menghindari wajah dari pandangannya. Berjalan lebih dulu. Aku mendengar kak Fariq terkekeh dan Bu Mari juga sepertinya sedang tersenyum geli melihat kami. Ah tapi, kuakui ini adalah malam yang paling indah dan tidak akan bisa aku lupakan.  Meski pernikahan bukan karena cinta, tetapi aku sudah bisa merasakan kebahagian yang teramat indah. Luar biasa nikmat Allah yang diberikan padaku. Fa bi ayyi aalai Rabbikuma tukadzibaan.

My Husband Not Only Handsome (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang