Empat

7.1K 315 4
                                    

“Apa Kakak akan menolak perjodohan dan pernikahan ini?” Aku menanyakan sekali lagi karena Kak Fariq tadi hanya diam.

“Kalau aku menolak, aku tidak mungkin tadi mengatakan kalau aku adalah calon suamimu.”

“Itu kan hanya candaan,”

“Tidak. Tidak bercanda. Lagi pula Kakak tidak punya alasan untuk menolak pernikahan atau perjodohan ini. Usiaku sudah matang dan siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Dan yang dijodohkan denganku bukan perempuan sembarangan. Kamu adalah anak dari teman ayahku. Kamu cantik dan aku dengar kamu seorang penulis. Biasanya seorang penulis memiliki wawasan yang luas dan kreatif. Kamu akan menjadi sarjana pendidikan, itu artinya kamu Insyaallah bisa mendidik anak-anak kita nanti. Aku tidak punya alasan untuk menolakmu apalagi pernikahan ini. Dan aku juga tidak mau mengecewakan ayah.” Jelasnya panjang lebar dan membuatku sedikit grogi.

“Tetapi ini terlalu dini untukku?”

“Terlalu dini? Kamu sudah berumur dua puluh tahun. Tidak jarang orang sudah menikah saat umurnya sembilas belas tahun. Bukan terlalu dini. Tetapi kamu belum siap. Benar kan?”

“Ya tentu saja aku belum siap. Aku belum selesai kuliah dan belum pernah terpikir akan menikah sebelum kelulusanku.”

“Memangnya apa dampaknya pernikahan untuk kuliah? Menghambat kelulusamu?” Tanyanya dan aku hanya mengangguk lalu diapun melanjutkan bicaranya. “Selama ini kamu berada dalam perlindungan keluarga. Dan setelah kita menikah, maka perlindungan atasmu adalah tanggung jawabku. Aku pikir ini bukan masalah. Jika untuk keberhasilanmu, yakinlah aku tidak akan menghalanginya. Aku sama sekali tidak berencana untuk menjadi suami yang terlalu membatasi istrinya.”

“Benarkah? jika kita menikah, apa Kakak benar-benar tidak akan mengekangku?” Tanyaku.

“Jika tidak melampaui batasan, aku tidak akan mengekangmu. Aku janji tidak akan menghambatmu untuk meraih kesuksesan, Alwa.” Jawabnya santai dan meyakinkan tanpa beban.

“Tetapi aku bukan perempuan ideal untuk menjadi istri.” Kataku pelan. “Aku tidak bisa masak. Tidak beres dalam hal membersihkan rumah. Sangat lambat mencuci piring. Tidak bersih mencuci pakaian dan tidak halus menyetrinya ataupun menyusunnya dengan rapi di lemari.”

“Jadi kamu ragu untuk menikah karena tidak siap untuk melakukan pekerjaan ibu rumah tangga?” Fariq terkekeh. "Alwa, kamu itu akan jadi istri aku, bukan asisten rumah tangga. Menurutku ibu rumah tangga yang baik bukan ditentukan dari sudut pandang seperti itu.”

“Begitukah? Tapi bagaimana dengan keluargamu?”

"Sama. Mereka memintamu menjadi istriku bukan asisten rumah tangga. jangan cemaskan itu. Aku berencana untuk membawamu hidup berdua di rumah kita sendiri setelah pernikahan nanti. Atau mungkin tidak apa juga kalau di temani oleh satu orang satpam dan satu orang asisten rumah tangga serta seorang tukang kebun. Bagaimana?”

“Rumah kita sendiri?”

“Ya. Aku sudah mempersiapkan sebuah rumah sederhana untuk kita nanti.”

“Aku tidak bisa menolak permintaan ayah. Begitu juga dengan dirimu.” Kataku dengan nada tegas, menutupi rasa grogi yang entah mengapa menjalari tubuhku. Aku menarik napas dalam, “tetapi aku ingin mengajukan dua syarat,”

“Apa syaratnya?”

“Kakak tidak boleh memaksaku untuk menjalankan tugas sebagai seorang istri sampai aku benar-benar siap.” Tantangku.

“Hmm,” dia tampak seperti berpikir lalu kemudian mengangguk. “Baiklah. Lalu yang kedua?” Tanyanya santai.

“Mm, Kakak harus janji akan tetap berusaha mencintaiku dan berhasil membuat aku mencintaimu.” Kataku pelan. Jujur aku sangat malu mengatakan ini.

My Husband Not Only Handsome (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang