Lima

8.1K 383 5
                                    

Hari pernikahan tiba. Angin berhembus lembut menembus kaca-kaca jendela Masjid yang berdiri megah di dekat tepi pantai. Senja ini akan menjadi saksi akad nikah antara aku dan kak Fariq.

Sebelum Ijab Qabul dilakukan, Kak Fariq melantunkan surah Ar-rahman tanpa melihat AlQuran. Aku menyaksikannya di lantai dua Masjid. Dia menghapalkannya dengan suara yang jernih, fasih dan nada tartil yang menggetarkan hati. Suasana benar-benar hening. Suara-suara khas pantai yang ditimbulkan desir obak atau hembus angin pun seolah mengalun harmonis bersama ayat Quran yang dilantunkan Kak Fariq. Semua larut dalam ayat demi ayat yang ia perdengarkan. Semua yang hadir meneteskan airmata. Begitu juga denganku. Air mataku menetes. Dadaku berdebar. Getarannya begitu kuat. Berdegup kencang. Jantung ini berdetak semakin cepat sampai akhirnya prosesi Ijab Qabul dilakukan. Kak Fariq mengucap ikrarnya dengan lantang dan lancar. Suaranya benar-benar bulat. Dan ketika semuanya mengucap kata “Sah.” Seketika hati langsung merasa lega dan bibir ini tersenyum seraya mengucap syukur pada Yang Kuasa. “Alhamdulillah,” hatiku ikut bergetar saat mengucapnya. Kini statusku telah berubah. Aku dan Kak Fariq sudah sah menjadi suami isteri. Meski ini bukan pernikahan yang aku rencakan. Tetapi entah mengapa aku merasa ini adalah keagungan nikmat luar biasa yang diberikan Allah kepadaku. Meski cinta belum tumbuh, tetapi hatiku merasakan suspensi itu akan hadir. Aku yakin pasti akan bisa mencintai Kak Fariq sepenuh hati. Sungguh, Allah Mahapengasih lagi Mahapenyayang.

Usai khutbah nikah dan doa, acara dilanjutkan di tepian pantai yang sudah didekorasi secara elegan dan terkesan megah. Nuansa warna putih dalam kursi-kursi dan panggung yang lengkap dengan beberapa alat musiknya serta yang tidak ketinggalan adalah sebuah altar pengantin yang luar biasa anggun.

“Kamu suka?” Bisik Kak Fariq.

“Ini sempurna. Terimakasih.” Jawabku lirih

“Apa kamu sudah mulai jatuh cinta padaku?” Godanya.

“Mm, belum.” Kataku, lalu melanjutkannya, “tetapi suatu saat, pasti.”

“Tentu saja.” Kak Fariq tersenyum lalu berjalan ke arah panggung musik dan duduk dihadapan piano putih.

Nada-nada manis mulai mengalun indah. Sarat dengan sisi romantika yang estetis. Semuanya mulai bertepuk tangan dan bibirnya mengukir senyum mengawali penampilan.

Bila yang tertulis oleh-Nya engkau yang terpilih untukku. Telah terbuka hati ini menyambut cintamu. Di sini segalanya, akan kita mulai mengukir buaian rindu. Yang tersimpan dulu untuk menjadi nyata dalam hidup bersama. Selamat datang di separuh napasku. Selamat datang di pertapaan hatiku. Izinkan aku untuk mencintaimu menjadi belahan di dalam jiwaku. Ya Allah, jadikanlah ia pengantin sejati di dalam hidupku, izinkan aku.

Ayah benar, Kak Fariq sangat pandai bermain piano. Dan suaranya sudah tidak diragukan lagi. Luar biasa indah. Lagu Maidany ‘Mengukir Cinta di Belahan Jiwa’ yang dinyanyikannya membuat hati seperti disentuh sangat lembut dan damai. Bahkan teman-temanku yang perempuan tidak bisa menahan diri. Mereka berteriak memuji ketika mendengar suara dan pemainan piano Kak Fariq. Aku sedikit malu, teman-temanku ini sangat berbeda jauh dari teman-teman kak Fariq yang tetap pada posisi elegan nan dewasa tersenyum saat menyaksikannya. Mungkin ini yang namanya jiwa muda. Mereka yang sudah dewasa cukup berteriak dalam hati untuk memuji sedangkan kami yang lebih muda dari mereka tidak bisa hanya sekadar berteriak di hati.

Wahai yang dicinta, telah kurela hadirmu temani relung hatiku. Simpanlah jiwaku dalam doamu, kan kujaga cintamu. Wahai yang dicinta, telah ku rela hadirmu temani relung hatiku. Simpanlah napasku dalam hidupmu, kan kujaga setiamu.

Suaranya benar-benar indah dan menyentuh hati. Aku rasanya jadi ingin membacakan sebuah puisi. Mengimbangi penampilannya. Aku memilih puisi di dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya sastrawan hebat Habiburrahman El Shirazy.

Aku melangkah menuju panggung musik. Aku dan Kak Fariq saling tatapan dan tersenyum. Sebelum membacakan puisi karya sang sastrawan, aku memulainya dengan kata-kataku sendiri,

Terimakasih yang luar biasa untukmu.
Aku harap untuk selamanya kau mampu mencintaiku.
Aku ingin,

Kak Fariq dengan tenang dan masih tersenyum, memainkan tuts-tuts pianonya mengiringi. Dan aku mulai membacakan kata-kata anggun Habiburrahman El Shirazy.

Kau mencintaiku seperti bumi mencintai titah Tuhannya, tak pernah lelah menanggung beban derita, tak pernah lelah menghisap luka. Kau mencintaiku seperti matahari mencintai titah Tuhannya, tak pernah lelah membagi cerah cahaya, tak pernah lelah menghangatkan jiwa. Kau mencintaiku seperti air mencintai titah Tuhannya, tak pernah lelah membersihkan lara, tak pernah lelah menyejukkan dahaga. Kau mencintaiku seperti bunga mencintai titah Tuhannya, tak pernah lelah menebar mekar aroma bahagia, tak pernah lelah meneduhkan gelisah nyala.

Kak Fariq tetap menjaga irama pianonya. Usai aku membacakan puisi. Diapun melanjutkan lagunya. Dan mendengar suaranya dengan jarak yang lebih dekat semakin menggetarkan hatiku. Rasanya aku ingin melayang.

Apapun adanya dirimu, ku ‘kan coba untuk tetap setia. Begitu pula pada diriku, terimalah dengan apa adanya.

Semuanya bertepuk tangan. Aku dan Kak Fariq saling bertatapan. Dia tersenyum begitu juga denganku. Lalu kami bersama-sama memandang ke arah laut. Ini bukan laut Mediterania yang menjadi saksi dari peristiwa-peristiwa besar di dunia yang mengukir sejarah seperti pertemuan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir yang konon juga terjadi di salah satu pantai laut Mediterania, ataupun peristiwa dari perang besar yang berkobar karena memperebutkan cinta Ratu Cleopatra yang juga terjadi di laut itu, seperti yang kubaca di novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Namun senja kali ini, di pantai yang bukan bagian dari Laut Mediterania, aku dan Kak Fariq mengukir sejarah kami Seraya berharap angin-angin disini akan menghembuskan atmosfer cinta yang abadi di antara kami dengan berkejar-kejaran memberikan kasih sayang seperti ombak yang berlomba-lomba untuk memberikan air pada tepian pantai.

Gemerlap cahaya kemerah-merahan semakin jelas di permukaan laut, sinar matahari yang tadinya kemas-emasan sudah berubah. Angin pantai semakin lembut menyapa memberikan sensasi dingin dan menerbang-nerbangkan benda-benda yang ringannya bak kapas. Gaun-gaun dan jilbab yang dipakai para hadirin juga pinggiran-pingiran taplak meja serta helaian-helain kain yang lain, berkibar-kibar anggun. Ombak dengan pergerakannya yang menimbulkan suara desir begitu kuat juga berganti-gantian menghampiri tepian pantai. Membelai pasir-pasir putih nan indah. Aroma Maghrib yang khas terasa damai menyentuh relung jiwa. Suara Azan mulai menggema mengagungkan asma Allah. Mengajak penduduk bumi untuk melaksanakan shalat Maghrib. Subhannallah, Mahasuci Allah yang telah menciptakan dan mengatur semua ini dengan sangat indah. Aku dan Kak Fariq bertatapan lagi. Tersenyum melihat malam yang sudah mulai jatuh. Dan untuk pertama kalinya, Maghrib ini Kak Fariq menjadi imamku dalam shalat bersama dengan yang lain, berjamah di masjid pantai ini.

My Husband Not Only Handsome (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang