part 5

876 71 1
                                    

"BTS?"

"HAHAHAHAHAHA" tawa ku meledak seketika. "Ya! Kamu kenapa Dee tiba tiba tertawa seperti itu? Lihat tuh, orang orang jadi melihat ke arah kita." ucap bibi Inha menyadarkan ku. Dan benar saja, orang orang sedang menatap ku heran. Aku jadi malu.

Tapi aku benar benar tidak bisa menahan tawa ku tadi. Bagaimana tidak? Aku langsung teringat akan Indonesia. Di Indonesia, BTS merupakan alat/menara pemancar sinyal jaringan telekomunikasi. Aku langsung berfikir 'sebenarnya yang konser di sini itu boyband atau menara?' HAHAHA lucu bukan? Atau, hanya aku yang merasa lucu?
Hm, maaf.

Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Berarti, tinggal 1 jam lagi konser akan dimulai. Semua sudah berbaris sesuai dengan gatenya masing masing. Aku dan bibi berada di gate vvip. Saat proses pemeriksaan, petugas memberitahuku untuk tidak mengaktifkan handphone selama berlangsungnya acara.

15 menit sebelum konser dimulai. Aku sudah duduk di bangku ku bersama bibi. Lampu lampu mulai dimatikan. Para fans sudah mulai menyalakan lightstick masing masing. Aku pun mengikutinya. Padahal aku tidak tahu persis apa gunanya menyalakan lightstick.

5 menit sebelum mulai. Para fans, yang menurut bibi disebut dengan 'a.r.m.y' mulai meyorak nyorakkan bermacam macam nama. Nama yang asing di telinga ku. Aku merinding dibuatnya, karna suara suara mereka yang sangat keras dan kompak. Tanpa ada yang salah sedikitpun. Padahal di sini ada beribu ribu orang. Tidak ada satupun yang salah dalam menyebutkan nama nama tersebut. Benar benar menakjubkan.

Akhirnya konser dimulai. 7 orang muncul dari bawah panggung. Seketika semua a.r.m.y berteriak histeris. Aku menutup kuping. Tak kuasa mendengar jeritan dari mereka semua. Satu per satu lampu dinyalakan. Musik dimulai. Ketujuh lelaki tersebut langsung bergerak enerjik menyesuai irama. Kuakui mereka pandai dalam menari.

Tapi ada yang membuat ku heran. Kenapa bibi rela membeli tiket dengan harga yang mahal tanpa bisa melihat muka mereka dengan jelas? Sedangkan bibi bilang kalau berdiri di depan panggung persis harganya lebih murah dibanding tempat duduk yang sekarang aku duduki. Aneh.

Apa yang bisa dilihat dari sini? Aku hanya bisa membedakan mereka dengan warna rambut mereka. Ada yang badannya menjulang tinggi dengan rambut berwarna seperti permen kapas. Ada yang memiliki rambut berwarna seperti kue klepon. Tau kue klepon kan? Kue yang berwarna hijau. Yang gerobaknya sering mengeluarkan bunyi nyaring yang membuat kuping menjadi sakit itu. Ah sudahlah, lanjut. Ada yang memiliki rambut berwarna orange seperti kulit jeruk. Aku paling tidak mengerti dengan dia. Apa dia termotifasi menjadi sebuah jeruk? Sangat tidak bersyukur, fikir ku.

Di sisi kanan dan kiri panggung terdapat layar besar yang terhubung langsung dengan kamera. Sehingga kita dapat melihat dengan jelas muka muka dari ketujuh orang tersebut. Tapi aku tidak berniat sama sekali untuk melihat kedua layar tersebut. Karena aku lebih fokus dengan tarian mereka, ketimbang tampang mereka.

Konser baru berjalan setengah jam. Tiba tiba aku merasa bangku ku bergetar. Aku langsung menatap bibi ku. Yang ditatap menatap balik ke arah ku. "Apa bibi mengaktifkan handphone bibi? Bukannya pihak keamanan melarang untuk mengaktifkan handphone bi? Kalau kita ketahuan bagaimana?" tanya ku kepada bibi. "Bibi hanya berjaga jaga. Takutnya paman mu menelfon. Sebentar biar bibi lihat dulu," jawab bibi sambil mengambil handphonenya. "Dari paman mu Dee.", "angkat saja bi, siapatahu saja penting."
"Ada apa oppa?" tanya bibi sedikit berteriak, karna di sini sangat berisik. "YA! CHOI INHA! APA KAU LUPA SEKARANG KAU SUDAH PUNYA ANAK? SALAH KU MENGIJINKANMU MENONTON HAL YANG TAK BERGUNA! ANAK MU SEDANG SAKIT SEKARANG! CEPAT KE RUMAH SAKIT SEUNGRI SEKARANG JUGA!" bentak paman ku di sebrang sana yang membuatku bergidik ngeri.

Ku lihat bibi Inha matanya sudah memerah. Tangannya gemetar. Kurebut handphonenya. Kulihat ternyata paman sudah memberinya pesan berkali kali. Seperti, 'Inha, sepertinya Yian terkena demam. Suhu badannya hangat Inha. Apa kau mau pulang? Kasihan Yian. Aku tidak tahu harus apa. Sedari tadi Yian menangis terus.' 'Inha, Yian badannya sudah menggigil. Padahal aku sudah mengkompressnya. Apa aku bawa saja ya ke rumah sakit?' 'Inha, aku sudah di rumah sakit Seungri sekarang. Cepat ke sini!' 'Inha, tolong jawab aku! Kau masih sayang pada anak mu tidak?!' itu lah beberapa pesan dari paman. Pantas saja dia membentak bibi.

Aku segera menarik tangan bibi untuk keluar menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bibi menangis. Sambil bergumam, "aku jahat, aku bodoh. Menelantarkan anak ku demi orang yang sama sekali tidak mengenalku." seperti itu berulang ulang sampai aku jenuh mendengarnya. Aku hanya bisa mengelus punggung bibi, menenenagkannya, meskipun sepertinya tidak berhasil.

Sesampainya di sana, aku dan bibi langsung berlari mencari paman. Ternyata paman ada di ruang UGD. Kulihat paman matanya sudah memerah. Seperti ingin marah kepada bibi. Namun ketika paman melihat bibi, pandangannya melembut. Aku yakin, pasti paman sudah sangat menyesal membentak bibi tadi. Aku tahu persis seperti apa paman ku itu.

Paman berlari ke arah bibi. Memeluk bibi, menenangkannya. "Maafkan aku Inha, aku sudah membentakmu. Maafkan aku Inha, aku tidak bisa menjaga anak kita. Maafkan aku Inha, aku tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk Yian." ujar paman.

Suasana sangat tidak menyenangkan di sini. Aku paling sangat tidak suka suasana mellow seperti ini. Ku lihat ke dalam, Yian sedang diperiksa oleh dokter. Tangan mungilnya tersambung dengan selang infus. Sungguh menyakitkan melihatnya seperti itu.

Aku kembali ke ruang tunggu. Tak lama datang seorang pasien yang baru turun dari ambulans dengan keadaan kepalanya berlumuran darah. Aku bergidik ngeri dibuatnya. Kulihat dibalik pasien itu banyak sekali kamera menyorotnya. Kilat cahaya datang dari kamera kamera tersebut untuk berlomba lomba mendapatkan gambar yang paling banyak.

'Apakah orang itu begitu penting? Sampai sampai banyak wartawan yang berdatangan. Apa dia artis? Atau mungkin anak presiden?' fikir ku.

Aku baru teringat akan handphone ku. Ku nyalakan handphone ku, lalu kulihat ada notif line yang masuk. 'Apakah ahjussi yang mengirimnya?' batin ku. Ku buka,

Kimtae:
Sera! Beri aku semangat! Aku sangat butuh semangat dari mu!>.<

Kimtae:
Sera! Tolong balas pesan ku sekarang! Aku tidak punya banyak waktu

Kimtae:
Sera? Apa kau sudah melupakanku? Maaf aku tidak menghubungimu belakangan ini. Tolong maafkan aku. Kalau tidak, aku tidak bisa berkonsentrasi nanti:(

Kimtae:
Sera, maafkan ahjussi tua ini:(

*
*

TBC

------------------------------------------------------

Ahjussi! Saranghamnida!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang