–Senin, 12 Januari 1976
"Aku tahu kau bukan pengkhianat," suaranya terdengar begitu hangat dan bersahaja, membuat laki-laki di sebelahnya meliriknya diam-diam dan tersenyum lega dengan samar.
Lama mereka berjalan dalam diam menuju puncak bukit Timor Timur yang terjal, masih saling menyimpan suara dengan rapi dan penuh dedikasi, seolah dengan itu harta tak terhingga akan mereka dapat.
Di belakang dua orang itu, puluhan prajurit bersenjata mengekori dengan tenang, tak menciptakan suara apapun meski sepatu yang digunakan setebal baja. Hutan belantara yang mereka belah tak menjadi halangan demi terciptanya kesatuan yang tak ingin terbelah.
Antonio Loba berhenti di radius 100 meter dari sebuah bangunan tua di sana. Ia menoleh pada laki-laki di sebelahnya dengan raut sendu. "Di sana dia bersembunyi. Maaf, aku hanya sanggup mengantar sampai di sini."
Tepukan hangat menyambut pundak kiri Antonio. "Maaf karena membuatmu berada dalam posisi ini, tapi aku tahu kau meyakini tindakanmu ini dengan segenap hati."
Senyum Antonio terbit, ia mengangguk pelan. "Maukah kau mengabulkan satu permintaanku, sebagai bayaranku?"
"Apa itu?"
"Makamkan kakakku dengan layak."
Anggukan yakin itu menyanggupi permintaan Antonio yang kemudian berbalik turun bukit melewati prajurit yang menghalangi jalannya, air matanya jatuh tak bersuara di sepanjang jalannya pulang.
Laki-laki itu terus diam memandangi kepergian Antonio yang perlahan hilang ditelan rimbun pepohonan belantara yang rapat. Ia lantas beralih menatap puluhan prajurit yang setia menunggu komandonya.
Suaranya terdengar yakin sebagai Komandan Pleton Grup 1 Para Komando-Komando Pasukan Sandhi Yudha, "Kita ringkus si pemecah negara di dalam sana!"
Dua ratus prajurit di hadapannya memberi hormat senjata untuknya. Mereka bergerak perlahan dan terkoordinasi dengan baik, melaksakan tugas untuk menangkap pemberontak negara dan pulang ke barak dengan bangga yang membumbung di seluas dada satu-satu dari mereka.
Setahun berselang, di lapangan barak yang gersang, sebuah upacara berlangsung hikmad.
"Kuambil jabatanmu sebagai Komandan Peleton Grup 1 Kopassandha," suara itu terdengar merdu di telinga laki-laki tampan itu. Tanda jabatan di pundaknya dirampas namun hatinya bergetar gembira. "Dan dengan ini kuangkat kau sebagai Komandan Kompi Para Komando Grup 1 Kopassandha."
Dia telah menempati jabatan yang sebelumnya tak pernah berani ia nyana bahkan dalam mimpi, ia telah menjadi Prawiryo Soebiarto Sang Komandan Kompi Para Komando Grup 1 Kopassandha.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Prajurit yang Terkhianati
Historische RomaneKetika malaikat dijubahi pakaian setan. Ketika kesetiaan dihidangkan jamuan nikmat bernama pengkhianatan. Dia Prawiryo, yang tak beranjak di muka pengkhianat, walau tubuh didera pengkhianatan. "Bahkan jika itu negara yang berkhianat, aku tetap setia...