Mertua dan Istri

494 24 0
                                    

–Sabtu, 7 Januari 1984

Prawiryo tertunduk dan mengaitkan kedua tangan di atas paha, matanya terpejam rapat seolah dengan itu ia tak perlu lagi menghadapi kenyataan yang benar-benar ia takuti sekarang.

Ketika suara pintu ruangan yang ia tunggu-tunggu terbuka akhirnya terbuka juga dan memuntahkan beberapa pejabat negara, Prawiryo berdiri dan memberi hormat pada satu-satu yang menyapanya. Soeparto menjadi orang terakhir yang keluar dari ruang rapat, ia tertawa pelan melihat kehadiran Prawiryo yang sepertinya sedang sengaja menungguinya menyelesaikan rapat.

Soeparto berjalan perlahan dengan tangan terkait di belakang tubuh. Di sebelahnya, Prawiryo merajut langkah dengan tak melupakan penghormatan untuknya lewat pandangan yang selalu menunduk.

"Semakin gelap saja kulitmu sepulang dari Timor Timur," kata Soeparto berbasa-basi, namun tak ada sahutan dari Prawiryo.

Seraya tersenyum tipis Soeparto bertanya, "Apa yang begitu mendesak hingga kau rela menungguiku rapat, mantuku?"

"Prajurit saya melakukan kesalahan di misi kemarin," sahut Prawiryo dengan tundukan yang semakin dalam. "Bantulah saya, saya mohon, Pak."

Dan Soeparto diam-diam tersenyum miring sembari melirik tundukan Prawiryo.

***

–Jumat, 27 Januari 1984

"Jangan terlalu keras pada Mbak Rus, Mas," adiknya, Hasyim, berkata dengan hati-hati ketika Prawiryo duduk di kursi kayu di teras belakang kediaman ibu bapaknya.

Prawiryo hanya mengangguki sang adik dan meraih gelas berisi teh hangat yang baru saja disediakan Bianti.

Bianti, kakak pertamanya kemudian turut menyahut, "Istrimu itu lagi hamil tua. Biarkan dia keluar jalan-jalan atau kakinya akan membengkak dan proses persalinannya kelak yang hanya tinggal 2 bulan itu akan bermasalah."

Prawiryo masih tak menyahut. Entah dari mana saudara-saudaranya mengetahui tentang pengurungan yang Prawiryo lakukan pada Rusidah. Namun terlepas dari semua rasa penasarannya, ia lebih ingin tahu bagaimana kabar sang istri kecintaannya itu di rumah yang ia tinggal bersama salah seorang pembantu. Prawiryo lantas digerogoti rasa bersalah yang luar biasa mengingat semua perbuatannya yang menyakiti hati Rusidah.

"Rusidah itu wanita yang sabar," kata Bianti seraya menepuk-nepuk selendang yang ia kenakan, membersihkannya dari debu sambil menerawang mengingat sosok adik iparnya yang ayu. "Bukankah dia tak pernah meminta apapun darimu yang tak pernah kau berikan? Dia bahkan masih tetap diam saat kau berkata kau telah menikahi anak presiden. Kenapa begitu keras hatimu memperlakukan Rusidah yang begitu mencintaimu hingga tak tahu caranya berontak itu?"

Dari pintu belakang, Maryani, kakak tertuanya datang membawa sebuah kain sewek batik Pekalongan di tangan, kemudian duduk di sebelah Prawiryo setelah Hasyim bangkit dari kursi itu.

Prawiryo mendesah diam-diam. Ini konfrontasi yang diam-diam telah direncanakan saudara-saudaranya untuk membuatnya lebih melunakkan hati pada Rusidah, Prawiryo tahu betul.

"Sewek dari Ibu," suara Maryani terdengar tidak bersahabat. Ia taruh kain itu di atas paha sang adik kedua dengan kasar. "Buat persalinan binimu. Sediakan saja dukun beranak dari sekarang di rumah kalian, biar sekalian Rusidah tak perlu keluar sama sekali dari kamarnya."

Pribadi kakaknya yang satu ini memang tak akan berlemah-lembut terhadap apa yang tidak sependapat dengannya. Maryani akan lebih senang berkomentar sarkastik daripada memberi bujukan lembut bernada persuasif yang akan membuat hati luluh. Watak Maryani memang paling keras di antara saudara Prawiryo lainnya.

"Saya hanya tidak mau kehilangan dia," Prawiryo membuka suara dengan lirih, pikirannya sudah cukup terbebani dengan masalah di ABRI tapi sekarang saudara-saudaranya tengah melakukan konfrontasi secara terang-terangan padanya. "Saya biarkan semua lini kehidupan saya dimasuki campur tangan siapa pun, tapi tidak sama halnya dengan Rusidah. Istriku itu hanya aku yang boleh mengatur."

Hasyim menunduk, posisinya sebagai yang termuda membuatnya sungkan untuk berkata lebih. Ia melirik Bianti yang sepertinya juga enggan berkomentar. Hal ini yang bisa menentukan hanyalah Maryani. Prawiryo selalu tidak bisa membantah omongan kakak tertuanya itu. Tapi agaknya kali ini perdebatan akan berjalan alot melihat bagaimana kerasnya Prawiryo terhadap Rusidah.

Maryani mendesah sembari memijit pelipisnya. "Hei, Wiryo, perempuan selalu suka dengan perlakuan lembut penuh cinta dari orang yang dia kasihi. Ditawarkan gelas berisi timah panas pun akan ia minum juga selama yang memberi adalah sang pujaan dengan semua tingkah manisnya. Bagaimana bisa kau lebih memilih untuk dibenci istrimu sementara kau bisa memilih jalan lain yang jauh lebih baik?"

Kali ini Bianti yang menyahut, "Atau jika kau tetap pada pendirianmu untuk mengurung Rus, kami akan membawanya pulang kemari. Atau terpaksa kami pulangkan saja pada pamanm bibinya jika keadaan benar-benar memaksa."

***

–Sabtu, 28 Januari 1984

Prawiryo membuka pintu itu, ia tersenyum lemah melihat Rusidah yang duduk di pinggiran kasur, tengah merajut syal dan kini berhenti untuk menoleh padanya yang berjalan mendekati wanita tersebut pelan.

Melihat kedatangan suaminya, Rusidah meletakkan pintalan benang wolnya di atas nakas lantas menaruh kedua tangan di atas paha, menanti suaminya tiba di sampingnya dengan tenang.

"Aku pulang, Sayang," suara Prawiryo ketir di telinga Rusidah. Sebersit perasaan marah nyatanya masih bersarang di hatinya. Tangan Prawiryo bergerak meraih tubuh Rusidah untuk ia bawa ke dalam dekapannya. "Kau makan dengan baik?"

"Mas hanya akan suka mendengar kalau saya makan dengan baik," sahutan Rusidah agak teredam bahu Prawiryo yang terselimut kemeja khaki, membuat Prawiryo diam-diam melepas senyum getir. "Jadi anggap saja saya memang makan dengan baik."

Setelah melerai pelukan, Prawiryo mengusap sayang puncak kepala istrinya dengan lembut. Ia tatap dalam-dalam mata redup wanita di hadapannya dengan sedih. Sudah tak terkira lagi berapa banyak penderitaan yang telah ia berikan pada Rusidah.

"Aku baru menyelesaikan misi di Timor Timur, ada masalah besar terjadi di sana," Prawiryo lebih memilih untuk membahas hal lain saja, namun ternyata topik yang baru saja ia angkat membawa kesesakan tersendiri dalam hatinya. Biasanya ia akan berebah di paha Rusidah dengan tangan lembut sang istri yang mengusap dahi dan kepalanya ketika ia mulai bercerita pengalamannya saat menjalankan tugas, tapi kali ini Rusidah duduk di sampingnya dengan wajah mengeras. "Begitu tahu salah satu anggota ABRI memerkosa seorang wanita Krakas, amarahku timbul, teringat aku akan dirimu di sini."

Rusidah menyimpan suara dalam-dalam, hanya mendengar sang suami dengan hikmad. Dalam hatinya yang terdalam betapa ingin ia mendaratkan jemari untuk mengelus kepala sang suami yang berebah di pahanya seperti dulu. Wajah lelah Prawiryo membuat hatinya teriris ketika ia sadar egonya sangat tinggi hingga tak bisa berbuat apapun untuk menghilangkan beban sang suami.

"Lalu sang suami dari wanita yang diperkosa menuntut pembalasan dendam dan pembantaian terjadi oleh persatuan ABRI sebagai tindakan balasan melihat salah satu personel mereka tewas oleh orang-orang Timor Timur. Kacau sudah keadaan. Aku berharap Pak Parto bisa membantuku menyelesaikan masalah ini."

Rusidah mengangguk pelan seraya menunduk. "Kalau begitu Mas memang sudah benar untuk datang kepada Presiden. Bukankah memang begitu, peran ayah mertua, membantu anak menantunya saat mengalami kesusahan? Bukankah itu memang tanggung jawab beliau karena secara tidak langsung menempatkan Mas pada posisi sepelik ini dengan semua hadiah jabatannya pada Mas yang begitu terorganisir?"

Lagi-lagi Prawiryo harus bersabar dan menelan semua perkataan pedas istrinya. Ia tersenyum perih dalam tundukannya yang sekejap.

"Kali ini saya benar-benar memohon, Mas, jangan lagi menumpahkan segala keluh kesah pada saya dengan wajah sedih seperti itu, memperlihatkan pada saya sisi lemah Mas yang tidak pernah Mas perlihatkan pada siapapun," air mata Rusidah tumpah ruah di depan Prawiryo yang membisu terdiam, "karena saya tidak bisa lagi melakukan apapun karena sakit hati ini meski dalam hati saya sangat ingin memeluk Mas."

Tak kuasa lagi Prawiryo melihat tangisan memilukan sang istri, ia bawa kembali tubuh Rusidah dengan perut besarnya ke dalam dekapannya, mengusapi punggung sang wanita dengan lembut.

"Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku," bisik Prawiryo seraya menciumi puncak kepala Rusidah yang sesenggukan dalam pelukannya.

***

Prajurit yang TerkhianatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang