Keesokan harinya, Prawiryo berada di pintu belakang istana negara membantu Soeparto mengemasi barang-barang. Wajah mertuanya datar tanpa ekspresi yang berarti, terus bergerak tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Prawiryo bisa mengerti ini adalah momen yang sangat sulit bagi pria itu, puluhan tahun susah payah memperbaiki negara namun harus dilengserkan oleh kesalahan yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Meski ini adalah sepenuhnya keputusan Soeparto untuk memilih berhenti, namun itu kembali lagi disebabkan kejadian belakangan yang tidak kondusif.
"Berhati-hatilah, Wiryo," Soeparto membuka suara pada akhirnya ketika dia telah duduk di kursi mobil di samping kemudi, memandang Prawiryo yang berdiri tegak di samping mobil. "Carilah macan lain dan masuk sarangnya, karena tempat paling aman dari terkaman macam adalah berada dalam kandang macam itu sendiri."
Baru kali ini Prawiryo mendapat perlakuan tulus dan hangat dari Soeparto. Hatinya menghangat dan ia tersenyum haru. Ada setitik penyesalan dalam dirinya, mengapa ia tidak berusaha lebih keras lagi untuk membantu mengamankan posisi mertuanya. Tapi semua sudah terjadi, yang perlu ia lakukan adalah terus menatap ke depan dan menggunakan masa lalu sebagai spion.
Air muka Soeparto terlihat begitu sedih saat semua barang telah berada di boks mobil pengangkut, Soeparto memilih keluar terlebih dahulu dari istana negara sebelum nantinya ia yang akan dipersilakan keluar walau dengan sangat hormat.
"Aku akan membawa Hedi bersamaku," kalimat Soeparto yang satu ini menampar Prawiryo kuat-kuat untuk segera kembali ke kenyataan. "Terima kasih sudah menjaganya untukku."
"Tapi, Pak, biarkan dia bersama saya. Kami masih suami-istri," kata Prawiryo yakin. Ia tidak tahu dorongan dari mana hingga ia bisa berkeinginan untuk menyimpan Titiek tetap di sisinya. Mungkin karena dia tidak mau lagi ditinggal sendirian.
"Kau bukan miliknya. Pulangkan lah istrimu itu dari pengasingan dan hidup lah bahagia dengan anak istrimu yang sebenarnya. Kudengar anakmu menjuarai kontes designer muda bulan lalu."
"Tidak, Pak, saya tidak keberatan untuk terus bersama Hedi."
"Aku tidak sedang berbicara sebagai panglimamu, tapi kita menempati posisi yang sama sekarang. Aku adalah seorang bapak dan sudah barang tentu seorang bapak selalu ingin yang terbaik untuk anaknya, begitu pun dirimu, kan? Aku tidak akan membiarkan anakku hidup bersama lelaki yang bukan miliknya, akan kucarikan dia lelaki yang bisa mencintainya."
Prawiryo hanya bisa menunduk dalam, tertohok dengan kalimat sang presiden. Ia bukannya tak pernah merasa bersalah untuk tidak pernah bisa membalas perasaan Titiek, tiap sepulang kerja ketika disambut wajah antusias Titiek yang ayu hati kecilnya selalu meminta maaf pada wanita itu karena tidak pernah bisa mencintainya. Hanya saja rasa bersalahnya kemudian ia tebus dengan ia bersikap lembut pada wanita tersebut, meski dalam hati tak pernah benar-benar mengakui Titiek sebagai istrinya, sampai kapanpun.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Prajurit yang Terkhianati
Fiksi SejarahKetika malaikat dijubahi pakaian setan. Ketika kesetiaan dihidangkan jamuan nikmat bernama pengkhianatan. Dia Prawiryo, yang tak beranjak di muka pengkhianat, walau tubuh didera pengkhianatan. "Bahkan jika itu negara yang berkhianat, aku tetap setia...