Dengan Sang Pujaan

393 23 1
                                    

–Kamis, 13 Oktober 1983

"Kubilang nanti setelah anak kita lahir, Sayang." Prawiryo memegangi lengan sang istri kecintaannya dengan sedih. Istrinya tidak bisa berhenti menangis dan terus mengemasi pakaian ke dalam tas besar. Prawiryo mengajak Rusidah duduk di pinggiran kasur. "Jangan melakukan ini, kamu menyakitiku."

Rusidah menatap suaminya pedih, air matanya tumpah ruah membasahi pipinya yang gembul. Keadaannya sangat kacau, persis sama seperti hatinya ketika sebulan lalu suaminya berkata bahwa ia harus segera meninggalkan negeri setelah anak yang mereka nantikan lahir untuk mengasingkan diri. Tidak ada penyiksaan yang lebih kejam dari perkataan suaminya sendiri kala itu, tidak ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri sang ayah mati terkoyak peluru penjajah, tidak pula ketika ibunya sekarat di bawah tubuh tentara jajahan yang membugili ibunya.

Dengan suara perih ia menimpali perkataan Prawiryo, "Mas bisa melakukan apapun yang Mas mau, memberhentikan segala yang menyakiti hati Mas. Tapi apa saya bisa meminta Mas berhenti melakukan sesuatu yang benar-benar membuat saya ingin mati detik ini juga?"

Prawiryo tak bisa membalas apapun dari perkataan Rusidah, ia hanya meraih tubuh sang istri ke dalam pelukannya, mengelus punggung bergetar karena tangis itu dengan pelan dan membisikinya dengan kata-kata cinta, yang jujur tak bisa membuat hati Rusidah membaik pun sedikit.

"Saya tidak bisa terus menerus hidup dalam tekanan seperti ini, Mas." Rusidah menggeleng lemah dalam dekapan suaminya. "Kalau hanya menjadi istri tersembunyi dan membiarkan suami menikahi perempuan lain tanpa persetujuan saya, saya rela sepenuh hati menjalaninya seumur hidup saya. Tapi mengapa Mas sampai hati menyuruh saya mengasingkan diri dengan anak kita yang nantinya akan orang-orang kenal sebagai anak Mas dengan wanita lain?"

"Ssttt.... Tenangkan dirimu, Rus." Prawiryo menciumi puncak kepala sang istri dengan sayang, menumpahkan segala cintanya untuk wanitanya lewat kecupan-kecupannya, berharap dengan itu sakit hati yang istrinya keluhkan akan berkurang. "Bersabarlah demi anak kita. Semua ini kulakukan demi masa depan anak kita. Jabang bayi dalam kandunganmu ini berusaha kuselamatkan masa depannya dari kemelaratan."

"Apa salahnya hidup melarat, Mas?!" Rusidah meradang, mencoba melepaskan diri dari pelukan Prawiryo tapi suaminya tak mengizinkan. "Jangan mengambil kambing untuk dihitamkan pada saya. Saya sangat tahu ini hanyalah cara Mas untuk melindungi garis keturunan Mas yang ternama itu. Mas tidak mau menjadi orang kecil karena keluarga Mas adalah pembesar negara. Ini hanya penyelamatan Mas dari keterpurukan derajat, bukan untuk masa depan anak kita!"

Hati Prawiryo benar-benar tertohok mendengar tuduhan kejam istrinya, ia tidak bisa lagi menghalangi berontakan Rusidah untuk lepas dari dekapannya dan hanya mampu memandangi sang istri dengan nanar. Matanya yang bersinar terang di setiap pertempuran kini meredup sedih di hadapan sang istri yang tampak begitu hancur karena perbuatannya sendiri. Rusidah benar, ia tidak lebih dari seorang suami yang begitu kejam dan tak punya hati, yang tidak bisa melakukan apapun selain menyakiti orang-orang yang dicintainya. Prawiryo tak lebih dari sekedar pecundang yang digagahi kekuasaan.

Rusidah bangkit dari duduknya dan kembali mengemas seluruh pakaiannya ke dalam tas besar. Tekadnya sudah bulat untuk pergi meninggalkan rumah ini, meninggalkan Prawiryo dan semua yang menyakitinya jauh di belakang. Rusidah akan lari sejauh yang ia bisa.

"Tidak ada lagi cara halus dariku yang bisa membuatmu menurutiku, Rus," suara Prawiryo yang terdengar dingin dan tak terbantah itu membuat Rusidah menoleh dan membelalak kaget melihat sang suami berdiri tegap di ambang pintu kamar.

Rusidah menggeleng pelan, menahan air matanya yang hendak kembali berlarian turun. "Jangan, Mas," lirihnya putus asa.

Prawiryo mengeraskan wajah dan hatinya melihat raut penuh penderitaan itu, ia meraih kenop pintu dengan perlahan. "Aku tidak perlu lagi meminta maaf untuk mengurungmu supaya tidak pergi kemana pun. Kau yang membuatku seperti ini."

Rusidah luruh di depan lemari itu, tersedu sedan memukuli dadanya yang sakit. Pintu kamarnya telah ditutup rapat-rapat oleh Prawiryo. Semuanya telah berakhir. Rusidah benar-benar harus menjalani kehidupan yang sakitnya tak terperi ini. Betapa tega suaminya menghidangkan kehidupan sekejam ini padanya yang selalu Prawiryo bilang bahwa dia adalah wanita yang dicintai dengan segenap hati.

***


Prajurit yang TerkhianatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang