Hari Kelahiran yang Dinanti

365 22 0
                                    

–Kamis, 22 Maret 1984

"Laki-laki. Sehat, Pak."

Prawiyo bergitu saja menyerah pada gemetar di lututnya, ia luruh ke lantai dan bersujud syukur di sana karena istrinya telah berhasil membawa sang buah hatinya ke dunia dengan selamat. Sang dokter hanya bisa tersenyum melihat kebahagiaan tersebut.

Hasyim yang sedari tadi turut berdiri tegang di samping abangnya menunduk untuk membantu Prawiryo bangkit. Ia pegangi kedua pundaknya masnya dengan senyum lebar. "Kau sudah jadi ayah sekarang, Mas," bisiknya memandang wajah Prawiryo dengan haru.

Bianti dan Maryani sudah terlebih dahulu masuk ke bilik persalinan Rusidah dan menemui perempuan itu, meninggalkan Hasyim yang sibuk menenangkan masnya yang teramat bahagia sampai-sampai tak sanggup berdiri tegak.

Tangan Bianti mengelus kening berkeriat Rusidah yang terbaring lemah di atas katil, ia tersenyum haru memandangi adik iparnya yang nampak begitu kepayahan. "Kau adalah seorang ibu sekarang."

Maryani menyumbang senyum di balik punggung Bianti, ia memang tak sedekat Bianti dan Rusidah kalau dengan Rusidah, wataknya yang keras juga membuatnya tak pintar memintal tali hubungan seerat saudara-saudaranya yang lain.

"Mbak Rus!" suara pekikan senang Hasyim membuat ketiga wanita itu menoleh ke arah pintu yang sedang ditutup Hasyim, laki-laki itu lantas berlari kecil menghampiri katil Rusidah dengan penuh senyum. "Mana keponakanku?"

"Suster masih membawanya untuk dibersihkan," jawab Maryani dari belakang, namun lantas keningnya berkerut menyadari kekurangan disana. "Di mana abangmu?"

Hasyim memutar tubuhnya dengan kaku menghadap kakak sulungnya, ia meringis samar ketika menjawab, "Pak Presiden sedang berada diluar, Mas Wir bersamanya di sana."

Mendengar kalimat itu Rusidah mencelos di katilnya, ia memandang datar punggung Hasyim yang tak seberapa lebar. Sedangkan Bianti hanya bisa memandang raut adik iparnya dengan iba.

***

"Kapan Ragowo akan dikenalkan pada orang-orang?"

Senyum Prawiryo luntur ketika pertanyaan ini datangnya dari Rusidah yang terbaring di katil, ia mengalihkan pandangan dari anaknya yang dalam gendongannya pada wajah letih sang istri. Berjalan mendekati sang istri, ia lantas berkata, "Ayo kita berbahagia di hari kelahiran anak kita, Ragowo, Sayang."

Rusidah diam, dia memandangi bayi mungil yang tampan dalam gendongan suaminya. Senyumnya miris ketika membayangkan itu lah anaknya yang keluar dari rahimnya, yang akan orang-orang kenal sebagai putra dari Wakil Komandan Detasemen 81 Kopassus dengan anak perempuan Presiden Soeparto, Siti Hedi Hariyanti, atau yang lebih dikenal sebagai Titiek Soeparto.

"Pak Presiden datang untuk menemui cucunya, iya, kan?" lagi-lagi Rusidah bertanya, gatal ingin terus menyuarakan apa saja yang berada dalam kepalanya. Rautnya dilanda kesedihan yang tak terbendung.

"Aku menikahi puterinya, itu artinya aku adalah menantunya. Ketika aku memiliki anak, bukankah itu memang wajar jika Pak Parto datang mengunjungi cucunya, anak dari menantunya?"

"Tentu saja Ragowo memang adalah cucunya," balas Rusidah, suaranya parau dibarengi luruhnya air matanya.

Prawiryo mendesah sedih, ia berjalan mendekati katil dan duduk di samping Rusidah, dengan satu tangan menggendong anaknya dan satunya lagi mengusap air mata di pipi istrinya, ia berkata minta pengertian, "Kumohon jangan ada air mata di hari kelahiran anak kita, Sayang."

***

Prajurit yang TerkhianatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang