–Kamis, 12 Mei 1983
Titiek terbisu di pinggiran kasur baru itu bersama sisi gelap kamar yang gagal diterangi lampu tidur. Tangannya yang saling terkait di atas paha mendadak dingin dan keringatnya seakan ia baru saja mencelupkan tangan ke dalam bejana.
"Saya tahu ini cukup kejam bagi Anda," suaranya yang lembut bak dawai surga terdengar nyaring sekali mengisi seisian kamar, ia sempat memejamkan mata untuk menghela napas kemudian menoleh perlahan kepada sosok pria tegap berseragam, yang tengah duduk di pinggiran kasur satunya sambil membelakanginya. "Menanggung hukuman untuk kesalahan yang tidak pernah Anda perbuat. Tapi saya mohon anggap saja Anda sedang menolong seseorang dari mautnya."
"Ini bukan pertolongan," Prawiryo kemudian berdiri dan berbalik membalas tatapan takut wanita yang tengah hamil 3 bulan tersebut dengan tenang, "ini adalah perintah Panglima Militer dan saya tengah menjalankannya sebaik mungkin."
***
"Janganlah lantas kau khawatir, Wiryo." Kakinya saling menyilang bertumpukan satu sama lain di atas meja kaca itu dengan culas, bibirnya menjepit cerutu yang asapnya menggelitik penciuman Prawiryo. "Titiek bukan tipe wanita penuntut. Pelan-pelan akan kujelaskan bahwa yang menikahinya adalah pria yang telah beristri."
Prawiryo masih berdiri tegap penuh penghormatan di depan Soeparto. Kedua tangannya yang terkepal siap disimpan di sisi tubuh dan badannya tegap dengan seragam Kopassus lengkap. Asap cerutu dari hidung dan mulut pemimpin tertinggi militer di hadapannya sedikit banyak telah turut menyulut emosinya tanpa Soeparto sadari. Jika saja pria di depannya ini bukan pimpinannya, jika saja bukan Soeparto yang sedang memimpin negara.
Usai mengeluarkan kepulan asap dari hidung dengan perlahan, Soeparto kembali bersuara, "Kasihanilah putri malangku itu. Pacarnya menghamilinya dan sekarang tubuh lelaki bajingan itu tak lagi bernyawa di bawah tanah kubur."
Bukannya Prawiryo tidak tahu, Soeparto hanya sedang berusaha menyelamatkan nama besar pria itu sendiri saja. Apa kata dunia ketika anak presiden hamil di luar nikah?
"Aku tidak melakukan ini dengan gratis, anak muda," kata Soeparto kembali menghisap cerutunya yang tinggal sedikit, membuat Prawiryo menghela napas berat.
***
–Selasa, 29 Maret 1983
"Sialan memang dia itu!" suara umpatan tersebut terdengar di telinga Prawiryo yang hendak menemui temannya di lapangan. Bersembunyi dirinya di balik tembok dan mendengarkan kira-kira 3 orang di sana yang tengah berbincang. "Lupakah dia sesiapa saja yang menyediakan tangga bagi keberhasilannya? Sekarang dia menolak permintaanku untuk membantu anakku masuk tentara? Sudah gila dia itu rupanya!"
"Kau benar. Semakin sombong saja dia jadinya karena kekuasaannya berjalan langgeng seperti ini. Aku tidak bisa membayangkan apa lagi yang akan dia lakukan kepada kita dengan semena-mena," satu lagi suara menyahut, kentara akan emosi berbaur bisikan yang nyaris hilang dibawa angin.
"Tenang saja," kali ini suara yang terdengar lebih tenang dan berat. Prawiryo mengenali suara ini dengan sangat baik. "Kita buat rencana penghancuran untuk dia yang lupa pada kulitnya. Sebuah kudeta dari dalam tubuh pemerintahan. Bukankah itu terdengar sangat menarik dan dramatis? Sang Presiden yang dikhianati kabinetnya sendiri."
Ketiga orang di sana lantas tertawa keras-keras, terdengar puas dan penuh siasat yang mampu membangunkan bulu roma Prawiryo yang masih setia menyembunyikan diri di balik dinding yang memisahkannya dengan tiga orang di sana.
Ketika tiga orang tersebut bubar dengan tenang, Prawiryo melongok mengawasi keadaan. Ia lantas membalik badan dan pergi mengubah tujuan menjadi seratus delapan puluh derajat. Dengan menumpang sepeda motor salah satu ajudannya, dia pergi dengan kecepatan sedang mendatangi sebuah rumah dinas yang nampak apik dari luar. Prawiryo memakai topi kabaretnya dengan cekatan untuk kemudian membuka gerbang tersebut.
![](https://img.wattpad.com/cover/82424766-288-k905757.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Prajurit yang Terkhianati
Ficção HistóricaKetika malaikat dijubahi pakaian setan. Ketika kesetiaan dihidangkan jamuan nikmat bernama pengkhianatan. Dia Prawiryo, yang tak beranjak di muka pengkhianat, walau tubuh didera pengkhianatan. "Bahkan jika itu negara yang berkhianat, aku tetap setia...