–22 Mei 1998
"Terjadi pergerakan pasukan Kostrad ke Jakarta dengan konsentrasi ke kediaman Bapak tanpa sepengetahuan saya, Pak!" Panglima ABRI, Wiratno, berdiri tegak di depan sosok Sang Wakil Presiden yang memiliki wajah menenangkan, yang sebentar lagi akan menjadi pengganti Soeparto jika benar Soeparto menyerahkan jabatan.
Habib tertegun sebentar di kursinya. Ini masih pukul 5 pagi dan ia sudah disungguhkan kabar tak mengenakkan seperti ini. "Siapa pemimpin mereka?"
"Pangkostrad Prawiryo."
Kening Habib berkerut dalam, rasanya ia tak asing dengan nama yang disebutkan Wiratno barusan. Ia berpikir keras-keras mengingat-ingat siapa gerangan pemilik nama tersebut yang mampu membuat bulu kuduknya meremang.
Menyadari pergerakan Sang Wakil Presiden, Wiratno kemudian berkata dengan senang hati untuk membantu Habib mengingat, "Menantu Presiden, Pak."
Ah, pekik Habib dalam hatinya. Dia ingat dengan benar sekarang. Lantas saat ia sudah hendak berkata, telepon di atas mejanya berdering nyaring. Wiratno tetap berdiri tenang di tempatnya, setia menunggui wakil dari Panglima Tingginya yang baru hingga selesai bertelpon entah dengan siapa. Wajah sang wakil presiden tampak serius, sesekali akan menatapnya sebentar kemudian mengangguki perkataan seseorang di ujung telepon.
Habib meletakkan telepon ke asalnya, ia menautkan tangan di bawah dagu untuk menopang kepala. Dipandangnya Wiratno dengan serius kemudian tak lama senyum senangnya timbul. "Siapkan upacara pemecatan terbaik untuk menantu Pak Parto, sekarang."
***
"Ada apa ini sebenarnya, Pak?" Prawiryo segera menghadap Habib ketika ia mendengar kabar pemecatannya dari Markas Besar AD, sekonyong-konyong ia berlari dari gerbang rumah dinas menuju ruang kerja sang wakil presiden. "Apa maksud pemecatan saya?"
Habib berdiri dari duduknya, berjalan mengitari meja untuk berdiri di depan Prawiryo dengan menyandar pada pinggiran meja. "Apakah yang lebih pantas untuk konsekuensi Pangkostrad yang menggerakkan pasukan tanpa perintah resmi Pangab, anak muda?"
Kali ini Prawiryo benar-benar merasakan sakitnya sebuah pengkhianatan. Ia dibuat termenung di hadapan Habib dengan raut datar. Dadanya bergemuruh marah dan hendak memukul sesiapa saja yang berada di dekatnya, namun kemudian ia sadar semua tidak akan mengubah keadaan.
Sembari menggeleng pelan lantas Prawiryo membuat pembelaan, "Panglima Kodam Jaya meminta bantuan kepada saya untuk mengamankan sejumlah bangunan penting di Jakarta, Pak, suasana kota saat ini sedang kacau. Saya bergerak mengamankan rumah dinas Bapak dan inilah yang saya dapat? Pemecatan dari Bapak karena perlindungan yang saya lakukan untuk Bapak?"
Habib nampak tak acuh, dia mencebik keras-keras lantas memandangi sepatu pantovelnya yang hitam legam berkilauan di bawah sana. "Aku bisa apa, Nak, saat mertuamu sendiri yang menginginkan pemecatanmu?"
Prawiryo terdiam memakan mentah-mentah senyuman penuh penghinaan dari seseorang di hadapannya ini. Soeparto, orang itu yang memberikan perintah langsung pemecatannya. Mungkin Habib boleh senang ketika sang presiden bersama tangan kanannya lengser bersamaan, tapi Habib tidak boleh lupa bahwa sesungguhnya yang dilakukan Soeparto adalah semata-mata untuk menyelamatkan Prawiryo dari permainan politik petinggi negara yang semakin menjadi, Soeparto menyelamatkannya dari lingkaran setan yang dinamai politik ini.
Meski akhirnya Prawiryo mendapatkan jabatan pengganti sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI, namun luka dalam hatinya tidak akan sembuh bahkan dalam waktu seratus abad mendatang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prajurit yang Terkhianati
Ficción históricaKetika malaikat dijubahi pakaian setan. Ketika kesetiaan dihidangkan jamuan nikmat bernama pengkhianatan. Dia Prawiryo, yang tak beranjak di muka pengkhianat, walau tubuh didera pengkhianatan. "Bahkan jika itu negara yang berkhianat, aku tetap setia...