Masih '83

434 26 3
                                    

–Rabu, 3 Agustus 1983

Prawiryo terduduk di kursi tunggu tanpa ekspresi. Di sebelahnya, Soeparto tak hentinya berdzikir untuk putrinya yang sedang berjuang melahirkan seorang cucu untuknya.

Sudah sekitar tiga jam dua pria itu membeku di sana tanpa ada yang terlebih dahulu membuka kata, keduanya terlalu sibuk dengan dunia masing-masing.

Lalu ketika dokter keluar dari ruang operasi dengan sarung tangan penuh darah, Soeparto berdiri cepat lantas menghampirinya dan bertanya, "Bagaimana?"

"Maaf, kami tidak berhasil menyelamatkan sang bayi. Pecah ketuban yang tidak segara ditangani tadi menyebabkan bayi meninggal dalam kandungan," ujar dokter dengan sedih.

***

"Jika aku tidak salah, istrimu juga tengah mengandung, apa aku benar?"

Tak ada jawaban apapun dari Prawiryo.

Soeparto lantas melanjutkan, "Kira-kira usia kandungannya sekitar 3 bulan, jika aku tidak salah. Apa kalian sudah melaksanakan slametan tingkepan?"

"Saya tidak akan melibatkan Rusidah ke dalam masalah ini, Pak Presiden," Prawiryo berkata dengan tenang, tanpa emosi yang berarti.

Tawa Soeparto menguar. "Kita akan memberitahu publik tentang pernikahanmu dengan Titiek sebulan setelah anakmu dengan Rusidah lahir, memberitahu rakyat bahwa anak itu adalah anak kalian, kau dan Titiek, dan kalian berdua sudah dua tahun menikah diam-diam."

"Bayi dalam kandungan Rusidah adalah sepenuhnya hak saya dan Rusidah."

"Tidak ada pilihan lain. Kariermu juga akan terancam tanpa cara ini. Setelah pengumuman itu kau bisa mengirim Rusidah dan anakmu keluar negeri agar tak tersentuh media. Dibesarkan sanak saudara di luar negeri bukan sesuatu yang terdengar buruk."

"Mengapa tidak merancang pernikahan tanpa anak?" Prawiryo masih alot dengan pendapatnya.

"Setelah menikah dengan pria beristri yang tidak mencintainya, kabar mandulnya akan tersiar. Apa itu tidak terlalu menyakitkan untuk ukuran wanita selugu Titiek?"

***

–Kamis, 25 Agustus 1983

Soeparto menepuk pundak Prawiryo dengan penuh senyum lantas mengitari punggung laki-laki itu untuk duduk di kursi kebesarannya, menghisap cerutu yang beberapa saat lalu ia rebahkan di asbak di atas mejanya.

Memandang Prawiryo dari ujung cerutunya, Soeparto tersenyum miring seraya berkata, "Hormat, Pak Wakil Komandan Detasemen 81 Kopassus."

Prawiryo paham betul itu bukanlah sebuah pujian ataupun penghormatan seperti kedengarannya. Senyum miring tak bersahabat di bibir tua Soeparto menjadi buktinya. Tadi pagi ia berdiri di hadapan Komandan Kopassus untuk diserahi jabatan wakil ketua detasemen 81, jabatan yang sepertinya datang sebagai harga yang berusaha ditawarkan Soeparto agar ia mau menyepakati apa yang diminta sang presiden.

Tak ada yang bisa dikatakan oleh Prawiryo selain hembusan napas berat, membuat Soeparto yang menyadari arti hembusan napas itu tersenyum samar lagi-lagi di tengah hisapan cerutu yang nyaris habis.

***

"Maafkan aku harus melakukannya padamu." Prawiryo memeluk Rusidah yang tengah menangis erat-erat. "Ini perintah langsung dari Presiden. Tapi aku janji, setelah itu kamu akan hidup dengan tenang."

"Tenang apa, Mas?! Pada bagian mana saya bisa hidup dengan tenang di negeri perasingan?? Dosa apa saya hingga harus menjalani hidup semengenaskan ini??"

Tak ada kata yang sanggup Prawiryo ucapkan sebagai penghiburan untuk istrinya yang tengah bersedih. Semua yang keluar hanya akan berakhir dengan bualan semata karena keduanya sama-sama tahu bahwa keadaan tidak akan berubah sebaik yang diinginkan mereka. Dunia memang kejam namun Rusidah hanya ingin meminta sedikit belas kasih.

***

Prajurit yang TerkhianatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang