'94-'95

268 20 2
                                    

–Senin, 4 Juli 1994

Prawiryo tersenyum tipis pada Titiek yang menghidangkan dua cangkir kopi untuk dirinya dan seorang tamunya yang datang dengan tak diundang. Tamu itu turut memberi senyum untuk Titiek yang kemudian undur diri mempersilakan dua orang pria itu mendapatkan tempat untuk berbicara.

Prawiryo bersuara terlebih dahulu, "Terima kasih atas kunjungan Anda."

Frank tersenyum tipis, ia meraih kopi di atas meja lantas meminumnya perlahan. "Betapa cantik istrimu yang anak presiden itu."

Tak ada senyum di bibir Prawiryo atas pujian tersebut, dirinya hanya mengangguk tipis seraya turut menyeruput kopi buatan Titiek dalam diam.

"Kau adalah prajurit yang sangat kusegani, biar bagaimanapun, Wir," kata Frank menepuk pundak Prawiryo. "Aku lega jabatan Komandan Kopassus jatuh padamu."

"Jangan membuat saya semakin bertinggi hati, Pak."

"Tidak, aku hanya ingin menyampaikan perasaan banggaku sebagai seorang pimpinan karena tentara Indonesia memiliki prajurit seperti dirimu yang berdedikasi tinggi."

Prajurit berdedikasi tinggi apa, sahut Prawiryo nyinyir dalam hati. Dia memang selalu berusaha yang terbaik dalam dunia militernya, namun mengingat semua kemudahan yang diberikan presiden padanya dalam pencapaian jabatan membuatnya muak dan ingin membuang jauh-jauh semua atribut tanda jasanya, jika saja sang presiden tak akan mengecam keluarganya.

Setelah kepergian Frank dari rumah itu, Prawiryo berjalan pelan menyimpan kedua tangan di dalam saku celananya menuju halaman belakang untuk menghampiri Titiek yang duduk di kursi di tengah taman, tengah merajut jaket.

Setelah menghelas napas keras-keras, Prawiryo menoleh pada Titiek, lantas tatapannya turun memandangi rajutan di tangan wanita tersebut yang terajut tak sempurna. Senyumnya timbul, teringat akan sosok Rusidah yang sangat pandai merajut. Sedang apa kiranya sang istri tercinta dan anaknya yang telah sepuluh tahun di Amerika nun jauh di sana?

"Bukankah Pak Frank adalah pribadi yang bersahaja dan berhati besar?" Titiek berkata sambil sesekali melirik Prawiryo di tengah kegiatan merajutnya.

Anggukan Prawiryo tertangkap penglihatan Titiek. "Ya."

"Sudah sebelas tahun," desah Titiek tersenyum tipis dalam tundukannya merajut. "Waktu terasa cepat berjalan. Kukira baru kemarin saat Mas Wiryo melarangku keluar rumah."

Benar, sudah sebelas tahun Prawiryo menjalani kehidupan yang penuh penderitaan ini. Hebat nian dirinya bisa bertahan selama itu.

Keadaan kemudian hening, sore itu hanya dirajai oleh suara cicitan burung perkutut yang dipelihara Prawiryo.

***

–Sabtu, 7 Oktober 1995

Pria itu menggebrak mejanya keras-keras, urat-urat di pelipisnya keluar bersamaan dengan amarahnya. Ruangannya berantakan karena ia lempari segala yang ada di sana, dihantamkan pada dinding, dilemparkan ke jendela. Raungannya yang terdengar frustasi menyeruak pekat di seisi ruangan.

Dia lantas terduduk keras di kursinya, memijat pelipis keras-keras berharap dengan itu sakit di kepalanya yang teramat bisa menghilang. "Mengapa pergerakannya bisa semelejit roket?! Siapa Komandan Kopassus yang baru itu?"

Pria lainnya yang sedari tadi berdiri di ambang pintu kemudian menjawab ketika sadar laki-laki di kursi itu bertanya padanya, "Beliau adalah mantu Pak Parto. Anda ingat kedekatan mereka berdua?"

Mendengar perkataan si kaki tangan, pria yang terduduk di kursi kebesarannya itu termenung sebentar kemudian berkata, "Dasar prajurit penjilat! Bisa-bisa posisiku yang berikutnya dia incar. Kau Dono, hubungkan aku dengan Moerghani!"

***

Prajurit yang TerkhianatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang