–Jumat, 20 Maret 1998
Prawiryo tersenyum pada Soeparto yang terlebih dulu memberinya senyum dari mejanya. Soeparto lantas berdiri dan mematikan cerutunya, berjalan menuju sisi Prawiryo untuk menepuk pundak bertanda jasa di sana.
Dengan senyum puas, Soeparto berkata, "Hormat, Pak Panglima Komando Cadangan Strategi TNI AD!"
***
–Selasa, 12 Mei 1998
Arak-arakan para demonstran di mana-mana, di sudut desa, di depan kantor DPR, di kota, di alun-alun, di depan gedung MPR. Semua orang terutama para mahasiswa tak terkontrol menyuarakan ketidakpuasan akan apa yang tengah terjadi. Krisis keuangan benar-benar terjadi di seluruh Indonesia dan tidak ada lagi yang bisa melakukan apa-apa untuk ini. Bank-bank pailit dan terpaksa harus gulung tikar, usaha menengah lebur, ekonomi negara di ambang kehancuran sekarang.
Prawiryo sedang berada di ruangannya ketika dari luar ia mendengar gegap ramai yang membuatnya terusik dan keluar mendekati pusat keberisikan di bagian barat ruangannya. Tangannya terkait di belakang tubuh saat ia melangkah merapat pada beberapa orang pejabat ABRI yang terlihat begitu panik dan was-was.
Suara tegas Prawiryo mengalun mengagetkan lima orang di sana, "Hal apakah yang tengah kalian peributkan?"
Lima lelaki di sana menoleh dan menunduk singkat kepada Prawiryo. "Negara tidak lagi stabil dan ini mengancam stabilitas Indonesia. Siapa yang bisa kita persalahkan jika bukan pemimpin tertinggi negara?"
Prawiryo mencelos, tangannya yang bersembunyi di belakang tubuh mengepal kuat-kuat. "Begitukah? Apakah Anda ingin kehilangan pangkat Anda sebagai Komandan Peleton 1 Kopassus, Pak?"
Lelaki yang pertama kali menyahut tadi membelalakkan mata, merasa tersinggung akan kalimat Prawiryo yang terdengar sebagai ancaman baginya. "Pak Parto tidak lagi memiliki kekuatan cukup untuk bisa melengserkan jabatan para bawahannya. Apa Anda pun tidak paham, bahwa hanya dengan selentingan kecil dari tubuh negara bisa secara serta-merta merobohkan kekuasaan Pak Soeparto? Anda masih bisa menyombongkan diri karena Anda memiliki hubungan baik dengannya?"
"Saya rasa Pak Parto juga tidak akan mau kehilangan jabatan, sama persis seperti yang Anda katakan," Prawiryo sepenuhnya mengabaikan kalimat sinis Broto, juga keempat orang lainnya di depannya. "Beliau tidak mungkin dengan sengaja merancang kejadian semengenaskan ini untuk negeri yang dipimpinnya. Bukankah kesalahan sekecil apapun harusnya memang sangat membahayakan posisi para pimpinan? Bagaimana mungkin Pak Parto secara sadar merancang kehancuran untuk negaranya sendiri? Apa ini terdengar masuk akal?"
Kelima lelaki di sana termenung sesaat, tetapi kemudian pria yang memiliki badan paling gempal di antara kelima tentara tersebut bersuara, "Anda berkata demikian hanya karena Anda orang kepercayaan beliau! Anda bersikeras mengamankan posisi Pak Parto hanya untuk menarik simpati beliau dan juga jabatan yang lebih dari beliau bila Anda berhasil memadamkan kerusuhan yang terjadi untuk mengkudeta beliau."
"Apalah arti jabatan dan kekuasaan jika saya sudah di akhirat kelak? Lantas kalian masih akan tetap melakukan kudeta terhadap Pak Parto? Bukankah itu lantas akan disebut sebuah pengkhianatan?" tandas Prawiryo masih berusaha memegang kesabaran. "Saya tidak akan membeberkan rencana kudeta ini, namun Allah akan mengingat nama Anda semua sebagai pengkhianat, begitu pun saya yang harus menanggung malu terhadap diri sendiri karena menyimpan rahasia prajurit yang mengkhianati panglimanya sendiri."
Lantas usai dirasa ia telah mengatakan apa yang perlu ia katakan, Prawiryo berjalan meninggalkan lima orang tentara yang berdiri termenung menyaksikan punggung gagahnya hilang ditelan pintu.
***
"Keadaan benar-benar tidak kondusif. Sebaiknya Bapak tetap berada dalam perlindungan. Bapak tidak akan pernah tahu siapa yang akan menghunuskan pedang pada Bapak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prajurit yang Terkhianati
Fiksi SejarahKetika malaikat dijubahi pakaian setan. Ketika kesetiaan dihidangkan jamuan nikmat bernama pengkhianatan. Dia Prawiryo, yang tak beranjak di muka pengkhianat, walau tubuh didera pengkhianatan. "Bahkan jika itu negara yang berkhianat, aku tetap setia...