Terkuak

308 23 0
                                    

–Rabu, 18 April 1984

"Jangan pergi dengan keadaan seperti ini, Sayang." Prawiryo membawa Rusidah dalam dekapannya. "Berhentilah menangis agar aku tak menjadikanmu pikiran."

Rusidah masih terisak, sekeras mungkin berusaha menghentikan tangis namun itu tak berarti apapun karena air matanya tak bisa berhenti. Anaknya baru saja diperkenalkan pada khalayak, sebagai cucu sah dari Presiden Soeparto, tidak ada lagi pesakitan yang luar biasa bagi seorang ibu menyaksikan anak semata wayangnya diakui orang lain.

"Kamu akan hidup tenang di Amerika, aku telah menyediakan kediaman yang nyaman untuk kalian berdua di sana," kata Prawiryo mengelus kepala Rusidah sayang.

Rusidah lantas keluar dari dekapan suaminya, memandangi mata sang suami dengan kedua tangannya mendarat pada dada Prawiryo. "Bisakah saya menghentikan semua ini, Mas? Ragowo adalah anak saya, Mas. Kenapa saya harus pergi ke perasingan?"

"Rus," nada Prawiryo penuh permohonan. "Tidakkah kamu ingin membawa anak kita keluar dari lingkaran setan ini, Sayang? Aku rela kau benci karena ini, aku rela kehilangan putraku dan terancam menjadi orang yang ia benci seumur hidupnya, aku rela menjadi kacung Presiden, semua kulakukan agar Ragowo bisa terbebas dari nasib malang ini. Tidakkah kau mau membantuku, Rus?"

Isakan Rusidah makin mengeras. Kini ia tersadar, sosok suaminya yang sempat ia benci ini, sosok lelaki tampan yang berada di hadapan ini adalah sosok pria yang mencintainya dengan tulus, yang memberikan segala yang dia miliki untuk anaknya. Rusidah terbangun dari lembah kebenciannya sekarang.

Sejak mengetahui Rusidah mengandung, Prawiryo begitu saja ditawari sebuah pernikahan penuh derajat oleh Presiden. Nyatanya Prawiryo telah sadar jauh-jauh hari, bahwa itu bukan sekedar penawaran, melainkan sebuah ancaman dengan bayi dalam rahim Rusidah sebagai jaminannya. Permainan sang presiden telah terbaca sejak dini oleh Prawiryo, bahwa jika saja Prawiryo membuat perlawanan, bukan tidak mungkin kelahiran bayinya nanti menjadi permainan politik sang presiden. Untuk itu, yang benar-benar bisa Prawiryo lakukan adalah terus menuruti permainan Soeparto dalam rangka melindungi jabang bayinya juga istri kecintaannya. Menentang presiden dengan masa jabatan tak terbatas adalah tindakan yang sangat bodoh.

Kedua tangan Rusidah meraih leher Prawiryo untuk ia peluk erat-erat, menangis tersedu-sedu pada pundak yang memikul kesakitan yang nyatanya tak pernah Prawiryo bagi dengan Rusidah ketika Rusidah mengira bahwa Prawiryo telah membagi semua kesakitan yang dirasakan pria itu.

"Jangan menangis lagi, Sayang," bisik Prawiryo, kali ini Rusidah mengangguk.

***

Rusidah melambai dengan senyum yang ia paksakan untuk terlihat sebahagia mungkin pada Prawiryo yang melambai padanya di bawah sana, ia beralih memandangi bayinya yang pulas tertidur dalam pangkuannya lantas kembali menjatuhkan pandangan pada Prawiryo yang telah menyimpan tangan di belakang tubuh dengan tetap memandangnya.

Wajah suaminya berkali lipat terlihat lebih tirus jika diperhatikan dari ketinggian seperti ini, hal itu membuat Rusidah semakin berat meninggalkan Prawiryo seorang diri. Tidak setelah mengetahui beban yang selama ini dijinjing sendirian oleh sang suami.

Sekali lagi Rusidah melambai untuk sang suami. Prawiryo melepaskan tautan tangannya di belakang tubuh balas melambai dengan dua tangan.

"Aku mencintaimu, Rus," kata bibir Prawiryo, walau tak bersuara namun tersampaikan dengan sempurna tepat ke hati Rusidah yang menghangat.

Pesawat yang Rusidah dan anaknya tumpangi perlahan mulai take off, Prawiryo memandangi sang istri dari jendela kecil berbentuk oval memanjang di sana dengan senyum getirnya. Ia melambai untuk terakhir kalinya kemudian menyimpan kedua tangan di belakang tubuh. Terus dirinya berdiri di sana hingga burung besi yang mengangkut istri dan anaknya itu mengecil dan perlahan hilang.

***


Prajurit yang TerkhianatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang