–Selasa, 27 September 1983
"Brengsek!" Prawiryo mencekal kerah salah seorang anggota Yonif 501 dengan bengis, matanya memerah menyiratkan kemarahan yang tak bisa terbendung. Tangannya yang mencengkram kerah hijau seragam tentara tersebut bergetar hebat menahan ketakutan dan kemarahan yang menjadi satu. "Bagaimana bisa Anda dengan ceroboh melakukan hal ini, Pak?! Tidakkah Anda tahu bahwa ini adalah tanah konflik? Semua yang terjadi bisa mendatangkan konflik baru yang tak lagi bisa dikendalikan. Kemana Anda membuang otak Anda?!"
Sang tentara yang tak lain adalah Kepala Yonif 501 itu menunduk dalam, membiarkan Prawiryo melampiaskan kemarahan sepuas hati padanya. Dia yang bersalah, tak ada pembelaan yang bisa dia berikan untuk menghindari amukan sang Wakil Komandan Detasemen 81 Kopassus itu.
Lama Prawiryo menumpahkan segala kekesalannya di hadapan Heru yang hanya menunduk diam, seolah menyesali semua yang terlah diperbuat tapi semua tahu tak akan ada yang bisa merubah masa lalu bahkan dengan seribu tahun penyesalan sekali pun.
Prawiryo berjalan keluar dari markas ABRI, berdiri di ambang pintu baja markas yang terbuka sebelah dan berkacak pinggang di sana memandangi lapangan markas yang gersang penuh debu beterbangan. Tank-tank yang terparkir di samping pagar kayu pembatas di sana nyaris tampak seperti besi rongsokan karena karena noda lumpur yang begitu pekat. Prawiryo menghembuskan napas pelan kali ini sebelum menoleh kembali pada Heru yang masih setia menunduk.
Dengan suara cukup lantang Prawiryo berkata, "Tak ada harapan lagi nama tentara negeri akan bersih setelah ini. Bukan lagi hanya karena kesalahan salah satu prajut atau peleton, atau kompi, atau korp, ini telah menjadi kesalahan yang harus ditanggung seluruh pemilik seragam tentara."
"Saya benar-benar menyesal, Pak," Heru bersuara pada akhirnya, ia memandang Prawiryo penuh harap pengibaan. "Saya tidak tahu jika dia telah bersuami. Dia menggoda saya."
"Menggoda, katamu? Apa kau akan tetap tergoda jika saja kau berpikir lebih awal bagaimana jadinya kalau para warga menuntut pembalasan pada kesatuan kita?" kali ini Prawiryo tak ingin mendengar alasan apapun, ia berjalan keluar dari markas. Ada yang lebih penting yang tengah menunggunya di gunung demi misi operasi kali ini.
***
"Beliau masih berada di rumah, sedang bersama keluarga untuk makan siang," seorang uskup berkata dengan suara yang lembut dan menenangkan, membuat Prawiryo yang berdiri di depannya tertunduk membuang senyum ketika mengingat sosok ayah.
Prawiryo mengangguk pelan lantas memberi senyum penuh penghormatan kepada sang uskup. "Terima kasih Anda telah membantu saya bertukar pesan."
"Tidak masalah, anak muda," balas sang uskup. "Daripada itu, ada hal yang benar-benar ingin kusampaikan padamu. Hal ini telah mengganggu saya sejak lama."
"Apa itu?"
"Bagaimana kiranya mendapat jabatan wakil komandan?"
"Saya cukup senang, tapi saya sadar bahwa posisi saya masih rendah, saya masih memiliki atasan, tapi hal ini bukan karena saya ingin berkuasa, melainkan agar saya masih bisa berendah hati."
"Hati Anda begitu putih, Pak," puji sang uskup membuat Prawiryo tersenyum malu dalam tundukannya, "tapi saya khawatir dengan pribadi bersahaja ini akan ada banyak pihak yang menjatuhkan Anda dikarenakan dengki."
Prawiryo terdiam, hatinya mendadak tertohok mendengar perkataan lelaki tua di hadapannya. Ia bukan tak mau percaya akan apa yang baru saja dikatakan pria itu, namun untuk lebih tak mempercayai seorang pribumi yang selalu tahu pendapat rakyat rasanya lebih konyol. Loka adalah pilihan terakhir untuk orang yang tidak bisa dipercaya. Tapi agaknya kali ini Prawiryo memilih untuk tidak menyetujui sang uskup meski hatinya mempercayai bahwa ada banyak di luaran sana orang-orang yang tidak menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prajurit yang Terkhianati
Historical FictionKetika malaikat dijubahi pakaian setan. Ketika kesetiaan dihidangkan jamuan nikmat bernama pengkhianatan. Dia Prawiryo, yang tak beranjak di muka pengkhianat, walau tubuh didera pengkhianatan. "Bahkan jika itu negara yang berkhianat, aku tetap setia...