Pesta ulang tahunku akhirnya berakhir sebelum makan malam, karena teman-temanku tentunya tidak ingin melewatkan kesempatan meninggalkanku dengan ruangan penuh dekorasi yang sudah dirusak dan setumpuk piring kotor di hari ulang tahunku sendiri. Seolah mereka belum mengerjaiku habis-habisan saja dengan berkonspirasi selama seminggu belakangan. Aku berhasil mencuci dan mengelap semua piring-piring kotor, menggulung pita yang sobek-sobek, dan membersihkan setiap sisa letusan balon sambil menceritakan bagaimana pestaku berjalan pada Ayah. Sengaja aku tidak menceritakan tentang Alwyn, karena asumsiku, Ayah bakal terlalu berharap kalau hubungan kami akan membaik. Perdebatan itu tidak akan menyenangkan, karena berdasarkan pengalaman, hal itu akan berakhir dengan ia memojokkanku yang tidak berusaha untuk mendekati Alwyn dan terlalu menempel pada anak-berandalan-tidak-tahu-sopan-santun: Jonathan Prost, Jr.
Setelah berhasil membereskan semua sisa pesta itu,aku pamit pada ayah untuk naik ke kamar. Aku menaruh semua hadiah di lemari, tapi tetap memegang voucher tiket yang diberikan Alwyn. Kurebahkan diri di tempat tidur, dan menerawangnya ke cahaya lampu supaya aku tahu kalau itu bukan semacam lelucon yang bakal membuatku dipenjara karena berusaha memalsukan tiket. Tapi itu bukan berarti aku mau menggunakannya dan jadi korban bulan-bulanan makhluk itu.
Krak!
Aku menoleh ke arah jendela yang masih bergetar pelan. Tidak lama kemudian, sesuatu kembali menghantam jendelaku. Aku mengerang, lalu bangkit dari dan melongok keluar.
Tadinya kuharap itu sungguhan orang iseng, karena dengan begitu aku bisa membentaknya sekeras yang aku mau. Tapi harapanku kandas, setidaknya dengan cara yang menyenangkan, karena yang kutemukan di sana adalah Fabrizio. Tudung jaketnya menutupi kepala, sementara ia melambaikan tangan dan memberiku isyarat untuk turun tanpa berisik (atau dalam konteks ini, mungkin turun tanpa ketahuan ayahku). Aku mengerutkan kening, meminta penjelasan. Tapi ia hanya menggelengkan kepala, dan mengulang isyarat itu: Turun. Jangan berisik.
Aku akhirnya mengangkat jempol, lalu menyambar jaketku. Sekalian kutaruh voucher tiket dari Alwyn di atas meja belajar. Pelan-pelan, aku menuruni tangga, lalu berhenti sebentar. Berusaha memastikan bahwa ayah masih ada di ruang kerjanya. Suara mengetik masih terdengar di sana, jadi kupikir ia pasti masih bekerja, kecuali rumah kami mulai dihantui atau dia memiliki robot pengetik, yang mana keduanya tidak mungkin. Aku mengendap-endap ke arah dapur, meraih kunci yang tergantung dekat konter, lalu menutup pintu pelan-pelan. Begitu sampai di luar, adrenalin sudah memenuhi diriku sehingga ketika berlari melintasi halaman belakang, aku sungguh berlari sepenuh hati. Fabrizio memelukku dengan riang ketika aku akhirnya keluar dari pagar.
"Kalau tahu kau bakal seriang ini," katanya sambil melepaskan pelukan. "Seharusnya aku lebih sering mengajakmu kabur dari rumah."
Mendengar kalimatnya, aku mengerutkan kening. "Kabur dari rumah?"
Ia mengangguk. "Hanya sampai tengah malam."
"Ini masih belum terlalu malam, dan ayahku percaya seratus persen padamu. Kau bisa masuk dan meminta izin padanya kalau memang mau mengajakku jalan-jalan."
"Aku tahu, tapi apa serunya?" tanyanya, sembari mengulas senyum usil yang jarang sekali terlihat di wajahnya. Selama ini emosi yang selalu ditunjukkannya padaku adalah senang-sangat senang-memuja-kecewa-bingung-senang lagi. "Kita kan masih muda, dan ini ulang tahunmu."
Aku menganga―benar-benar menganga! "Ya ampun, siapa kau dan apa yang kau lakukan pada Fabrizio?" tanyaku sambil menjepit kedua pipinya dengan tanganku, dan membolak-balik wajahnya ke kiri dan kanan.
Ia tersenyum. "Ini masih aku," katanya, menepiskan tanganku halus. "Dan kenapa begitu mengherankan bagimu kalau aku bertingkah seperti... anak muda?"
YOU ARE READING
The Wardrobe
FantasyKehidupan Samantha Ruth berubah saat ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya yang tidak pernah ia kunjungi lagi sejak kecil.