Kecuali saat aku ada di kapal dengan Léo, aku tidak pernah melihat kegelapan lagi saat menutup mata sejak Fabrizio pergi, dan aku sudah tidak kaget. Selalu ada Fabrizio dalam mimpi-mimpiku. Di satu mimpi, kami mengalami hal yang baik. Berkeliling dunia sungguhan dan lain semacamnya. Di mimpi lain, ia mendorongku menjauh. Membuatku terbangun dengan airmata dan perasaan yang buruk. Dan hari ini bukanlah pengecualian. Aku tahu aku sedang bermimpi, karena dunia nyata sudah tidak punya Fabrizio. Tapi di sinilah dia, melihatku dengan tatapan sedih, ketakutan, dan segala emosi yang bisa dirasakan manusia. Aku maju selangkah mendekatinya, tapi kemudian tatapannya berubah. Seolah-olah semua emosi Fabrizio tadi terhisap oleh pusaran badai siklon dan menunjukkan wajah baru.
Dia menakutkan. Fabrizio belum pernah menatapku dengan sangat marah. Tidak, bukan marah, tapi jauh menakutkan daripada sekadar marah. Senyuman yang terlukis di wajahnya bukan senyum hangat Fabrizio yang biasanya, tapi senyum sinis yang beracun. Matanya yang bengis berbinar-binar melihat ke arahku. Tapi walaupun sekarang rupanya seperti iblis (yang tampan), aku tidak takut pada Fabrizio. Yah, aku begitu kangennya padanya sampai aku tidak peduli seperti apa dia.
Aku berusaha memegang tangannya yang memegang sebuah pisau perak berukir, dan berusaha melepaskan pisau itu dari tangannya. Ia menepiskan tanganku, menggenggam pisau itu erat-erat, seraya mengerang. Erangan menahan sakit yang membuatku ketakutan setengah mati. Aku melihat ke sekeliling, berusaha meminta pertolongan. Ada Linc di sana, di belakang Fabrizio. Dia bergantian menatapku, lalu menatap Fabrizio dengan sorot mata yang ganjil. Aku juga melihat Léo disana, masih dengan senyum riangnya yang lucu, dan beberapa orang yang tidak kulihat wajahnya.
Napas Fabrizio semakin memburu, dan itu membuatku ketakutan. Dia melihat sesuatu di belakangku, dan aku menoleh.
Jon ada disana, kelihatan sangat ketakutan, tapi juga kelihatan sangat marah. Ada Janis, Jamie, Raquel, dan Giaki juga. Mereka diam, tidak berekspresi. Janis menggelengkan kepala, lalu mundur selangkah. Aku berusaha melihat mereka lebih jelas, tapi nyatanya, hanya itu yang bisa kulihat.
"Aaliyah," desis Fabrizio pelan. Suaranya kedengaran menderita.
Aku kembali menatapnya. "Kenapa Ali?" tanyaku.
Jon berteriak ngeri, seperti memperingatkan seseorang. Aku menoleh, menemukannya berlari, hendak menerjangku. Aku berusaha mendengar apa yang dia teriakkan.
Namaku.
Seketika aku menoleh kepada Fabrizio lagi. Tangan kanannya yang lepas dariku terangkat ke atas, siap menikamku. Mataku terbelalak. Léo di belakang Fabrizio terkesiap, lalu berlari mendekati kami dan mengangkat tangannya, seolah berusaha mencegah. Tapi Léo tidak cukup kuat. Tangannya tidak bisa menahan tangan Fabrizio. Mataku tertutup. Tidak!
Mataku terbuka sementara aku terlonjak, kepalaku menghantam atap. "Aduh!"
"Samantha, kau tidak apa-apa? Tenangkan dirimu," tahu-tahu seorang perempuan datang, menyangga tubuhku, dan mendudukkanku ke kursi. "Mau minum?" dia menyodorkan sebotol air.
Aku mengambil botol itu, lalu meminumnya dengan tergesa-gesa hingga airnya menetes-netes dan membasahi pakaianku. Setelah selesai menghabiskan setengah isi botol air minum itu, aku memberikan botolnya kembali pada perempuan itu.
"Terima kasih," gumamku. Kemudian saat benar-benar melihat wajahnya, aku memicingkan mata. "Aku pernah melihatmu, ya kan?"
Perempuan itu tersenyum. "Aku Niki. Niki Windham."
"Oh," pikiranku terbuka. "Niki. Ya, benar juga. Bagaimana aku bisa lupa?"
Perempuan itu mengangguk malu-malu. Aku tidak terlalu mengenal Niki. Kami juga tidak sering main bersama, tapi aku ingat kalau orang-orang selalu menganggapnya sebagai anak yang menggemaskan. Sekarang setelah ia dewasa, semua orang akan setuju kalau dia sangat cantik. Bukannya dulu Niki tidak cantik, tapi sekarang dia seperti putri Disney. Rambut tembaganya yang bergelombang digelung, membuatnya kelihatan memesona. Dia mengenakan kemeja putih bermodel kuno yang berenda dan rok—benda yang paling jarang kugunakan sejak usiaku tujuh tahun—warna cokelat. Matanya warna abu-abu, dan bibirnya yang tipis membentuk sebuah senyuman.
YOU ARE READING
The Wardrobe
FantasyKehidupan Samantha Ruth berubah saat ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya yang tidak pernah ia kunjungi lagi sejak kecil.