Matanya langsung menatap ke mataku, menangkap basah aku yang sedang melihatnya. Hal itu membuatku begitu salah tingkah dan panik, sehingga tanpa berpikir, aku segera membuang muka ke sembarang arah.
Oh, tidak itu suatu kesalahan.
Salah banget.
Aku nyaris menepuk wajahku sendiri saat mendengar suara langkah kaki mendekatiku, diikuti oleh kata "halo" yang berasal dari suara rendah namun ringan. Aku menelan ludah, dan menatap orang yang baru datang itu. Ketakutanku jadi nyata. Berdiri di depanku adalah laki-laki yang kulihat barusan. Dia tersenyum ramah.
"Halo," balasku kaku.
"Bangku di sebelahmu kosong, tidak?"
Aku sungguh tidak ingin mulai berteman dengan siapapun sekarang, jadi kujawab, "Maaf, teman khayalanku sedang duduk di situ."
Ia mengangkat alis. "Kalau begitu, boleh aku bersandar di sampingmu saja?"
"Tidak sebelum kau mendapatkan izin dari kapten kapal ini," tukasku sarkastis.
Lelaki itu tertawa. Tanpa mengacuhkan kalimatku, ia bersandar di samping bangku, sementara aku tidak menghiraukannya lagi. Pandanganku terus bertumpu pada lautan. Untung aku membawa kamera, jadi bisa berpura-pura sibuk memotret padahal aku sedang mengawasi dermaga tempat aku berangkat tadi, yang sekarang sudah tidak kelihatan lagi. Kapal ini bergerak sangat cepat.
"Aku tidak mengerti kenapa orang selalu mendeskripsikan warna laut sebagai biru," tukas lelaki itu. "Kalau kau lihat, warnanya kelabu. Benar tidak? Kelabu kebiruan. Siapa ya yang bilang biru?"
"Bukan nenekku," tukasku lagi. Tadinya aku ingin membuat nada suaraku kedengaran ketus sehingga ia berhenti menggangguku. Tapi ia malah tertawa lepas, mengundangku untuk ikut tertawa hanya dengan mendengarnya. Saat sadar bahwa aku seharusnya bersikap ketus, aku menutup mulutku kembali dan menjaga pandangan jengkelku.
"Kau lucu," katanya.
Aku mengangkat bahu. "Biasanya aku disebut 'menyebalkan'. Tapi terima kasih."
"Kadang-kadang orang menyebalkan itu yang lucu," katanya. Ia lalu mengulurkan tangan. "Omong-omong, aku Léo Augier. Kau?"
Aku menatap tangannya, lalu matanya. Aku ingin mengguruinya soal 'tidak boleh bicara dengan asing' atau 'hipnotis terencana yang mungkin akan membuat salah satu dari kita terbangun di bak mandi penuh es dengan jahitan di perut bawah dan satu ginjal hilang', tapi tatapan penuh binar lelaki itu membuatku luluh. Dengan enggan dan ragu, aku akhirnya menjabat tangannya. "Sam Ruth."
"Senang berkenalan denganmu, Sam."
"Yah. Aku juga," balasku tidak bersemangat.
"Kau tidak mau sekalian mengenalkan teman khayalanmu padaku?"
Aku memelototinya, tapi ia tidak takut pada keketusanku. Ia hanya memamerkan cengiran lebar yang membuatku tersenyum dan menyerah. "Oke, terserah. Duduklah di sini jika kau benar-benar mau. Aku sudah memperingatkan kalau aku tidak ramah."
Léo menampakkan wajah girang yang―sumpah, berlebihan. Ia lalu duduk dengan gerakan yang dibuat konyol dan terkekeh. Aku menggelengkan kepala, meski tidak bisa kupungkiri, aku terhibur oleh sikapnya. Bisa kurasakan Léo memandangku, sementara aku pura-pura tidak melihat.
"Hey, Sam, boleh aku bertanya?"
"Bukankah kau sudah melakukannya sejak tadi?"
"Ya, tapi yang ini penting," katanya. Ketika aku akhirnya mengangguk, ia melanjutkan, "kenapa tadi kau memperhatikanku begitu intens, seolah-olah kau ingin berkenalan denganku tapi ketika kau kudekati malah jual mahal begini?"
YOU ARE READING
The Wardrobe
FantasíaKehidupan Samantha Ruth berubah saat ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya yang tidak pernah ia kunjungi lagi sejak kecil.