Chapter 22

85 2 0
                                    

Oh, ya ampun.

Mataku terbelalak, sementara suara tercekik yang bergema terdengar bersamaan dengan sakitnya tenggorokanku.

Jangan Niki! Jangan Niki juga!

Aku memandang ke arah berasalnya sebuah tawa mengejek yang keras. Tidak jauh di depan Niki, Deliah yang tubuhnya sudah seperti boneka compang-camping tertawa keras. Keningnya mengerut, membuat wajahnya semakin terlihat menjijikkan karena di keningnya itu sudah tidak ada lagi kulit, tapi daging kemerahan.

"Oh, jadi inilah dia," kata Deliah, nyaris mendesis. "Tikus yang menyembunyikan Lincoln kesayangan kami."

"Niki!" teriak Fabrizio. Ia menurunkanku hati-hati namun cepat, dan langsung berlari. Kupikir tadinya ia bakal mendekati Niki, tapi ia malah langsung menghantam Deliah tepat di wajahnya. Ketika Fabrizio melepaskan tangannya dari wajah Deliah, kulit yang menutup pipi dan hidung Deliah menempel pada tangan Fabrizio, sehingga wajahnya terlihat semakin menjijikkan lagi. Bau busuknya juga sangat tajam, bahkan dari jarak yang lumayan jauh sehingga aku harus berusaha keras untuk tidak langsung muntah. Deliah terjungkal ke belakang dan napasnya terengah-engah sementara mulutnya berkomat-kamit dan kulit wajahnya yang rusak mulai sembuh kembali. Sementara Fabrizio berlari pada Niki, aku mematung, terlalu sibuk merasa terkejut sampai tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"Pergi!" jerit Niki. "Bawa Sam pergi sekarang, Fabrizio! Sekarang!"

"Tapi Lincoln bilang..." Fabrizio menatapku, tampak ragu.

"Ap... Apa?" tanyaku. "Apa yang kau ingin aku lakukan?"

"Sam, kau bisa berjalan sendiri?"

"Bi... bisa," jawabku, berusaha kedengaran lantang. Sebenarnya kakiku gemetaran dan lemah. Aku bakal jatuh di kali pertama aku berusaha menggerakkannya. Tapi aku harus bisa.

Fabrizio mengangguk. "Larilah," katanya. "Aku harus membantu Niki."

Ia membopong Niki yang meronta-ronta, antara kesakitan dan minta dilepaskan. Tapi Fabrizio tidak menghiraukannya. Ketika ia sudah berdiri, aku baru sadar bahwa Deliah sudah bangkit lagi. Sejak tadi aku tidak bisa melihatnya karena terhalang tubuh Fabrizio.

Teriakan peringatanku baru sampai mulut ketika Fabrizio oleng ke tanah, dan ia melempar Niki yang langsung terguling-guling lebih mendekat ke arah kami. Di bawahnya, tanah berubah jadi pasir pengisap dan semak-semak duri mulai muncul, menyayat-nyayat kulitnya sebelum tertanam ke dalam pasir isap itu. Deliah yang melakukannya. Dia sepertinya sudah tahu kalau Fabrizio tidak bisa benar-benar dilukai dengan sihir. Mungkin dia sudah mencobanya.

Sebuah tubuh jatuh dari atas pohon, menghantam tanah dengan suara yang memilukan di belakang Deliah. Ia berusaha menerjang Deliah, tapi keadaannya kelihatan tidak bagus. Sangat tidak bagus. Kalau kupikir Deliah sudah menjijikkan, Tivania kelihatan sangat parah. Mungkin beginilah zombie sebenarnya terlihat. Benjolan-benjolan sebesar kelereng muncul di seluruh kulit Tivania. Segumpal benda yang terlihat seperti daging melilit lehernya dan kelihatannya berusaha menyebar. Kulit-kulit kakinya yang hijau sudah mulai berubah menjadi berwarna kehitaman. Entah kenapa, aku berpikir bahwa Tivania mungkin saja kehilangan kedua kakinya yang menghitam itu.

Tivania sepertinya berusaha menolong, tapi ia sendiri kelihatan sedang berusaha untuk tidak mati. Ketika Tivania mengucapkan mantra-mantra, seorang kakek tua yang gagah muncul dari semak-semak di belakangnya, memukul kepala Tivania keras-keras sehingga ia langsung pingsan. Itu Pak tua Locke. Ayah Ben.

Ya ampun si keriput itu. Tentu saja dia terlibat!

Sementara perhatianku teralih pada Tivania, Fabrizio sudah tenggelam di pasir sampai sekitar pinggang. Kemarahan mulai mengisi diriku lagi. Aku sudah muak. Aku masih bisa tahan mendengar jeritan orang-orang desa, Léo, dan Tivania yang sekarat. Tapi melihat Fabrizio dilukai... Deliah benar-benar cari mati.

The WardrobeWhere stories live. Discover now