Chapter 9

108 4 0
                                    

Sekali lagi, aku kehilangan jejak waktu. Bisa saja aku sudah lima hari tidur, atau bahkan baru lima menit. Gelombang pusing yang menyiksa itu akhirnya menyurut dari kepalaku, menyisakan jejak yang membuatku disorientasi dan mual. Begitu mataku terbuka sepenuhnya, aku melihat ada kakek, Mila, dan seorang wanita setengah baya yang kemarin membawakan makanan. Semuanya tamoak khawatir, harap-harap cemas.

"Sam sadar!" teriak Mila kegirangan. "Sam sudah sadar!"

"Ya, berkat teriakan kegembiraanmu," jawabku dengan suara lemah. Aku berdeham.

Kakek Ruth menatapku dengan tatapan iba. "Kau baik-baik saja? Aku khawatir sesuatu terjadi padamu, Sam. Kau jatuh lumayan keras."

Saat ia menyebutkannya, aku merasakan ngilu di lutut dan tulang keringku. Rasa sakitnya berdenyut-denyut. "Uh, pantas," gumamku pelan.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku merasa sehat-sehat saja," tukasku, walaupun itu bohong besar, karena tulang kering dan lututku berdenyut, luar biasa sakit. Belum lagi punggungku, yang rasa sakitnya terasa seperti membelah daging dan menggergaji tulang-tulang. Aku ingin sekali merengek, tapi rasa gengsi menahanku. Aku kan baru saja melancarkan aksi pembangkangan besar-besaran tadi. Lagipula, jika dibandingkan yang dulu, ini masih agak lebih baik.

Tapi tetap saja, menyembunyikan rasa sakit yang seperti itu ampun rasanya.

Kakek mengelus rambut merahku yang terasa lepek. Aku harus mandi. "Kau ingin sesuatu?" tanyanya lembut.

"Air..." gumamku, berusaha membuat suaraku terdengar normal. "Air. Aku haus."

Wanita setengah baya tadi langsung sigap memberiku segelas air putih, yang langsung kureguk habis-habisan. Begitu selesai minum, pandangan kakek Ruth masih belum lepas dariku, membuatku benar-benar jengah.

"Oke, apa nih yang aneh?" tanyaku. "Apa aku berubah bentuk? Muncul bulu-bulu dari wajahku?" tanyaku sambil menyentuh wajahku. Untungnya, di sana hanya ada kulit dan bukannya bulu.

Kakek Ruth tersenyum tipis, tapi matanya masih tampak cemas. "Kau pingsan selama dua hari," katanya. "Kau yakin kau baik-baik saja?"

Kalimat itu rasanya bagai tusukan ke telingaku. "Dua hari?" tanyaku. "Kakek serius? Dua hari?"

Kakek Ruth mengangguk pelan. Pandanganku beralih pada Mila, berusaha meminta penjelasannya. Siapa tahu kakek Ruth cuma berniat menakut-nakutiku. Gadis itu juga mengangguk.

"Itu benar," katanya. "Aku tidak keluar semenitpun selama dua hari untuk menjagamu. Kau benar-benar tidak bangun. Hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, tapi tidak bangun. Padahal kami sudah mengenduskan alkohol ke hidungmu," tambahnya dengan nada bangga. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada anak itu, tapi sepertinya dia merasa harus selalu ada di dekatku.

"Oh, wow," gumamku. "Itu rekor baru."

"Itu tidak pernah terjadi sebelumnya?"

"Pernah, tapi tidak selama itu," sahutku. "Bagaimana mungkin aku bisa pingsan selama itu? Aneh benar," gerutuku sambil berusaha bangkit. Saat akhirnya aku terduduk di tempat tidur, mataku membelalak melihat tubuhku sendiri.

Oke, memang aneh pingsan selama dua hari dan tidak bisa dibangunkan. Tapi rasanya tidak mungkin keanehanku langsung seekstrem ini. Mustahil aku akan dengan senang hati memakai gaun putih kuno aneh, bahkan dalam tidur. Pasti seseorang menggantikan pakaianku!

Aku tidak tahu apakah model pakaian itu, atau pikiran bahwa seseorang menelanjangiku saat tidur yang membuatku begitu marah. Aku menatap semua orang satu persatu, merasakan saking marahnya, aku pasti sudah memunculkan bara api di mataku.

The WardrobeWhere stories live. Discover now