Chapter 11

73 4 0
                                    

Paginya, saat warna hitam memudar menjadi biru keunguan yang terang, aku baru berani melepaskan bantal itu dan turun dari tempat tidurku. Kupikir setelah pingsan selama dua hari, aku seharusnya sudah kenyang tidur dan tidak merasa lelah, tapi ternyata bukan seperti itu cara kerjanya, karena kepalaku masih saja pusing dan badanku sakit. Secangkir kopi pasti bisa sangat membantu. Aku sudah mau turun ke lantai bawah, ketika terpikirkan olehku untuk pergi ke kedai kopi Ruzen. Setidaknya, di sana tidak ada resiko bertengkar pagi-pagi buta. Aku mengambil jaket dan sekalian kameraku, lalu berjalan mengendap-endap keluar. Rumah masih sepi. Hanya terdengar suara dari dapur, yang pasti berasal dari kesibukan si pengganti nyonya Hamla itu.

"Mau ke mana kau?"

Darahku seperti berhenti mengalir mendengar suara menegurku. Aku melirik pelan-pelan, sementara menyiapkan ribuan argumen untuk dilemparkan pada Arthur. Tapi saat kulihat sorot mata jenakanya, aku menghela napas lega. Ternyata Julien. Dia bukan orang paling menyenangkan, tapi dia tidak bersikap jahat atau sok mengatur seperti saudara kembarnya. "Hai, Ju," sapaku. "Kau mau ke mana?"

"Berburu," katanya sambil mengacungkan sebuah busur panah dari kayu yang bentuknya seperti tanduk besar yang langsung dicopot dari kepala Banteng. "Pagi-pagi begini hama kebun sedang keluar semua. Kau sendiri mau ke mana?"

Aku ragu sejenak, tapi kupikir Julien pasti bisa dipercaya. "Sarapan di luar."

"Kenapa harus di luar? Nyonya Abeny sudah memasak buat sarapan, tuh."

"Aku tidak ingin terlibat peperangan dengan siapapun di tengah sarapan nanti."

Mendengar kalimat jengkelku, Julien tertawa. "Oh, benar," katanya. "Omong-omong soal itu, kau kena masalah besar tuh."

"Coba hibur aku."

Julien tampak berpikir sejenak, berusaha memilah-milah yang harus ia katakan. "Yah, bagian terburuknya adalah kakek tidak akan mengizinkanmu kembali ke kota," katanya.

Aku mengangkat alis. "Coba saja. Aku akan mencari telepon dan menyuruh Ayah menjemputku kalau kakek tidak membiarkanku pulang. Dan aku masih punya kemampuan untuk kabur darinya."

Julien tertawa. "Wah, jadi begini caramu murka? Kau tahu tidak, kau bisa saja meraung seperti serigala, tapi semua orang akan tetap memperlakukanmu seperti kucing kecil yang manis."

"Diam," rutukku sambil berjalan keluar.

Humor meninggalkan wajah Julien, sementara keningnya mengerut. "Oke, ini serius, kalau begitu," katanya. "Kau pasti marah gara-gara dipaksa menikah itu, kan?"

"Aku tidak salah duga kalau desa ini memang berubah jadi desa pencari gossip." 

Dia tertawa pelan. "Kakek mengatakannya semalam. Katanya kami harus meyakinkanmu juga kalau itu jalan terbaik."

"Kau mau memulainya?" pancingku. Kalau sampai dia salah bicara dan mulai meyakinkanku, aku bersumpah akan menonjoknya tepat di hidung. Jon pernah mengajariku dulu, untuk melindungi diri. Tapi aku belum pernah benar-benar mencobanya. Ini momen yang sempurna untuk praktek.

"Tidak," jawab Julien. "Di depan kakek sih aku iya-iya saja. Tapi aku tidak setuju. Di desa ini memang ada tradisi menikah di usia belasan, tapi tidak ada tradisi memaksa pernikahan. Apalagi, kau pasti punya kehidupan di kota. Kami tidak bisa memenjarakanmu."

"Seharusnya semua orang berpikiran sepertimu, Ju."

"Pujianmu murah hati, Sam. Kau seharusnya memberikannya pada kakek. Dulu dia yang mengajariku banyak hal. Hanya saja, yah, dia agak berubah belakangan ini."

The WardrobeWhere stories live. Discover now