Aku tidak tahu sudah berapa menit, jam, atau tahun waktu sudah berlalu, tapi perlahan-lahan, sakitnya mulai berhenti. Sesuatu mulai meninggalkan tubuhku lewat mata, dan rasanya jauh lebih tidak sakit daripada ketika ia masuk. Mataku mulai mendapatkan kembali kemampuannya. Awalnya buram, tapi kemudian berangsur-angsur jelas dalam waktu kurang dari sepuluh detik. Ternyata aku sudah berada di dalam sebuah ruangan penuh rak dan buku. Aku mengenali ruangan itu. Perpustakaan. Di depanku, sesosok pria yang sangat pucat berdiri, menatapku dengan angkuh.
Alwyn.
Mataku membelalak, dan aku melonjak kaget. Seandainya orang yang membopongku ini tidak kuat, dia bisa saja menjatuhkanku karena gerakan tiba-tiba itu. Alwyn memutar bola matanya,
"Apa maumu?" tanyaku. Alwyn berada di pihak Ben. Bukan hanya dipihaknya, Alwyn juga tangan kanannya, meskipun menurut bosnya itu, Alwyn hanya orang bodoh yang mudah diperalat.
Alwyn tidak menjawabku. Ia malah mengalihkan pandangannya pada Fabrizio. "Yap, dia masih utuh, sayangnya," gerutunya. "Bawa dia pergi sekarang juga. Kita tidak tahu sampai kapan mayat hidup itu dan perkumpulannya bisa menahan kekuatan perkumpulan Benjamin."
"Lincoln," Fabrizio meralat dengan nada dingin. "Lincoln Kent."
"Aku tidak peduli. Dengar, aku tidak perlu lagi berpura-pura jadi orang biasa. Kali ini aku bisa saja membunuhmu kalau kau berani-beraninya menghajarku lagi. Jadi bisa kau bawa saja marmut merah ini keluar dari sini?"
"Tidak perlu disuruh dua kali," tukas Fabrizio datar.
Apa-apaan sekarang? Fabrizio dan Alwyn bersekutu? Apa Alwyn menipu Fabrizio? Entah bagaimana memperdayanya supaya membantunya menangkapku? Atau Fabrizio yang gila berbalik dan melawan Linc? Aku menggigit bibir, bingung dengan apa yang harus kupercayai. Fabrizio melangkah ke arah perapian sementara Alwyn membalikkan punggungnya menghadap ke arah jendela, melihat ke pekarangan yang sudah berubah jadi medan perang.
Masa bodohlah. Gerutuku dalam hati. Aku tidak peduli lagi pada nasibku. Silakan saja kalau Fabrizio atau Alwyn mau mengulitiku hidup-hidup. Aku sudah menyerah melawan. Aku menyandarkan kepalaku ke dada Fabrizio, mendengar detak jantungnya yang mantap dan kuat. Setidaknya, aku mati di dekatnya. Itu lebih baik.
Tiba-tiba terdengar lolongan kesakitan seorang laki-laki, panjang dan menyayat hati. Jeritan itu membangunkanku dari pengakuan menyerahku, dan membuatku menggertakkan gigi.
Itu suara Léo.
Aku membayangkan senyumnya, tawa riangnya, dan kata-katanya yang menenangkan. Tidak! Aku berubah pikiran. Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, tapi aku harus menyelamatkan Léo, bertarung di sebelahnya paling tidak. Tidak ada yang boleh menghapus senyum jenaka itu dari wajahnya. Tidak satupun!
Kuku-kukuku sudah habis kugigiti, tapi ada beberapa yang cukup panjang untuk kupakai mencakar tangan Fabrizio. Momentum keterkejutannya kumanfaatkan untuk melompat ke lantai perpustakaan dan bangkit dengan kedua lututku bergetar hebat. Keberanianlah yang membuatku bisa berdiri tegap. Gerakanku yang berisik membuat Alwyn berbalik menatapku. Mata biru gelapnya menyala-nyala karena amarah. Sebelum ia bisa melakukan sesuatu, aku mengarahkan telunjukku padanya, membaca mantra yang kugunakan pada Arthur sementara ia memutar bola mata.
"Apa yang kau lakukan!" bentak Alwyn.
"Sam, ayolah," ujar Fabrizio. "Kita harus pergi. Demi perkumpulan."
"Bagaimana itu tidak berfungsi padamu?" tanyaku, heran. "Kau seharusnya jatuh."
Alwyn mengangkat kedua alisnya. "Benarkah? Kok tidak, sih?"
YOU ARE READING
The Wardrobe
FantasyKehidupan Samantha Ruth berubah saat ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya yang tidak pernah ia kunjungi lagi sejak kecil.