"Sam, hentikan!"
Aku menoleh ke arah Jon yang jaraknya masih sekitar dua puluh meter dari tempatku duduk. Wajahnya tampak memerah. Entah karena panas, marah, atau keduanya. Secara reflek, aku menyembunyikan kertas-kertas di atas meja sebanyak yang aku bisa, berharap Jon tidak akan melihatnya. Giaki yang sedang memakan kentang goreng tampak menarik napas. "Wah sial," gumamnya pelan. Mungkin karena ia tahu bahwa sebentar lagi ia akan ada di tengah perang dunia.
"Kau benar-benar sudah gila!" teriak Jon lagi. Ia sudah lebih dekat sekarang, dan aku bisa merasakan puluhan pasang mata tertuju ke arahnya, kemudian ke arahku. Aku agak beruntung karena Giaki mengajakku ke sini, bukan ke kafe lain yang lebih ramai. Tapi aku bakal lebih beruntung lagi seandainya kami tadi diam saja di rumah dan memesan makanan sehingga kami tidak harus mengalami ini di depan umum. "Kau gila! Kau dengar itu? GILA!"
Dengan kesal, aku menyilangkan tangan di depan dada. "Lucu, keluar dari orang yang berteriak-teriak di tempat umum."
"Setidaknya aku bukan penguntit!" ujarnya dengan suara yang seolah sedang meneriaki copet, dan ia sudah ada tiga langkah di depanku. "Aku sudah cukup sabar dengan membiarkanmu menggila sesuka hatimu. Tapi pemesanan tiket ke Italia? Astaga, kau ini kehilangan akal atau apa?"
Mendengar kalimatnya, wajahku memerah. Malu. Tidak hanya karena aku ketangkap basah mau menguntit, tapi karena ia membuatnya publik, memberi gossip baru pada sekitar dua puluh orang yang ada di sekitar sini. Giaki menganga, tidak peduli meski hasil kunyahan kentang di mulutnya terlihat jelas.
"Apa yang kau bicarakan?" gerutuku, ingin menyanggah tapi jelas bertindak seperti orang yang ketahuan.
"Kau tahu benar apa yang kau bicarakan, bodoh. Aku baru membatalkan pemesanan tiket itu!"
Mataku melotot."Apa yang kau lakukan!" bentakku, agak lebih rendah darinya karena aku masih punya malu. Dan ya, usaha penyanggahanku gagal total.
"Jadi belum cukup jelas dia ingin menjauh dengan semua pengabaian itu? Apa lagi yang kau cari? Diusir terang-terangan? Ditendang keluar? Disodorkan surat perintah jaga jarak sejauh lima ribu kilometer? Serius, Sam! APA YANG KAU PIKIR KAU LAKUKAN?" tukasnya sambil mencengkram bahuku, mengguncangnya begitu keras sampai rasanya seolah dia mengacak susunan tulang belulangku.
"Lepaskan!" bentakku sambil berusaha melepaskan diri darinya. "Kau ini tidak waras!"
"Memang, dan itu gara-gara kau! Kau membuatku gila dengan semua usahamu mencari Fabrizio ini. Dia sudah pergi, oke? Jangan bersikap seperti mantan kekasih yang menyedihkan!"
Aku bisa merasakan kemarahan menggelegak keluar dari hatiku. Sejak kemarin ia sudah melontarkan kalimat sinis yang membuatku sakit hati, tapi yang terakhir itu betul-betul menusuk. Aku memelototinya, sementara di sampingku, Giaki mulai menggumam "wah sial" lagi.
"Kau yang menyedihkan! Kau menyebut Fabrizio temanmu, tapi apa yang kau lakukan? Kau menyerah!" bentakku sambil menggebrak meja. Rasa malu membuat perutku terasa seperti kram, sementara kemarahan menggumpal di tenggorokanku, jadi semacam penghalang yang membuatku bahkan sulit untuk menelan ludah. "Memang kenapa kalau dia tidak membalas semua telepon kita? Kalau dia menolak membalas semua pesan dan e-mail kita? Bukan berarti kita harus berhenti dan melepasnya begitu saja."
"Dia sudah meninggalkan kita tanpa pamit, menipu kita dengan berpura-pura masih ada di kota dengan menyuruh Lucita memutarkan rekaman suaranya setiap kita menelepon, meninggalkan R.i.P tanpa memberi kita kesempatan mendapat basis baru, dan kita masih harus pantang menyerah?"
Sepertinya Jon sedang berusaha membunuhku, karena setiap kata yang dikeluarkannya, setiap kalimat, menusukku semakin dalam dan makin dalam lagi. Membuka telingaku yang selama ini kusumbat dengan harapan, membuatnya mengucurkan darah hanya dengan kenyataan. Aku benar-benar marah sekarang. Kepalaku rasanya terbakar, darahku mengalir lebih cepat, dan diam-diam aku heran kenapa kulitku belum juga berubah warna jadi hijau.
YOU ARE READING
The Wardrobe
FantasyKehidupan Samantha Ruth berubah saat ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya yang tidak pernah ia kunjungi lagi sejak kecil.