Senyum Bibi Lou dan Kakek terulas bersamaan saat kami mendekat, menghapuskan ketegangan apapun yang tadi sempat kurasakan, bahkan dari bermeter-meter jauhnya.
"Halo, anak-anak," sapa Bibi Lou begitu kami mendekat. "Dari mana saja kalian?"
"Dari rumah Niki," kataku. "Memintanya untuk menjahitkan baju baru yang sama dengan baju nenek yang tadi pagi kurusak. Eh, soal itu, aku benar-benar menyesal. Seandainya aku tahu..."
Kakek menggeleng. "Tidak apa-apa," katanya. "Sikapmu memang agak buruk. Tapi aku senang kau menyesal. Menunjukkan tabiatmu memang pada dasarnya baik. Dan... di mana kau bertemu dengan Tuan Locke muda ini?"
"Di jalan pulang," sahut Ben. "Senang sekali bisa ketemu lagi dengan Samantha muda yang menawan ini."
Aku hanya mendengus saat mendengar kalimat Ben. "apa yang Kakek dan Bibi lakukan di sini?" tanyaku, lalu duduk di kursi sebelah kakek. Ternyata di meja bundar di hadapanku ada sebuah keranjang berisi bunga berwarna-warni yang masih segar—sepertinya baru dipetik. Aku mengambil salah satu dan menghirup wanginya. Aku baru tahu kalau bunga mawar ada juga yang bercorak seperti ini. Kupikir hanya ada warna merah dan putih saja.
"Kami sedang merangkai bunga untuk makan malam. Kau mau membantu?" tanya bibi Lou.
"Kita mau makan malam dengan bunga?"
Ben tertawa keras-keras, sedangkan kakekku hanya tersenyum geli. "Tidak, Sammy yang lugu. Ini untuk hiasan mejanya," jawab kakek.
Aku mengangguk paham, lalu menarik keranjangnya supaya lebih dekat denganku. "Aku tidak bisa merangkai bunga. Memangnya kita tidak bisa makan tanpa ada serangkai bunga di mejanya?"
"Bisa, tapi itu tidak sopan karena aku kan mau datang berkunjung," tukas Ben seraya menarik kursi lain supaya dia bisa duduk di sebelahku. "Akan kuajarkan bagaimana seharusnya merangkai bunga, Nona," ujarnya dengan nada suara dibuat-buat yang mengesalkan.
Selanjutnya kami dibuat sibuk dengan bunga-bungaan. Terkadang aku bersin-bersin mencium wangi bunganya, dan saat itu juga Ben dengan senang hati mentertawakanku. Beberapa kali aku salah menyusun bunga dan beberapa kali juga bunganya rusak gara-gara aku terlalu kesal dan jadi tidak sabaran. Bibi Lou dan kakek juga sesekali memberi pengarahan padaku. Akhirnya setelah sekian lama, bunga itu selesai dirangkai di dalam keranjang. Bunga hasil rangkaianku sangat berantakan, tapi kakek bilang karena ini pertama kali aku melakukannya, itu sudah cukup bagus. Bibi Lou mengucapkan terima kasih padaku dan Ben, lalu masuk ke dalam untuk memasak. Tidak lama setelah dia masuk, Ben pamit untuk membeli buah dan mengambil kudanya. Aku yakin besok dia akan menyuruhku naik kuda hanya untuk memperolokku.
Sadar bahwa soreku sudah selesai, aku segera bangkit dan membersihkan ceceran bunga.
"Sudah mau pergi, Samantha?" tanya kakek. Ia menopang dagu dengan kedua tangan, seraya menatapku sambil tersenyum.
"Sam," ralatku. "Ya. Gerah. Aku mau mandi. Ada apa?"
"Tidak ada. Mengobrollah denganku sebentar lagi," katanya. "Itu tadi menyenangkan."
"Setuju."
"Aku selalu kangen padamu, Sam."
Senyumku terulas tipis. Kakek memang agak menyebalkan sejak aku datang, tapi tidak bisa kupingkiri kalau aku juga kangen padanya. Tahun-tahun berlalu dengan cepat di kota. Aku bahagia, tapi kadang mereka muncul di antara pikiranku. Tapi yah, pikiran itu lebih cepat pergi daripada datangnya. "Aku juga kangen pada Kakek. Seandainya aku bisa tinggal lebih lama."
"Kau harus tinggal lebih lama."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak bisa. Aku harus mengambil program semester tambahan di sisa musim panas," kataku. "Baru kepikiran. Itu ide yang bagus untuk membantuku menyibukkan pikiran, sekaligus mematangkan diri untuk universitas tahun depan. Lagipula kalau lebih lama di sini, nanti ada yang datang dan menyeretku pulang," senyumku berkembang mengingat wajah Jon ketika sedang membuat janji itu.
YOU ARE READING
The Wardrobe
FantasiKehidupan Samantha Ruth berubah saat ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya yang tidak pernah ia kunjungi lagi sejak kecil.