Minimarket ini sepi, seperti biasanya. Pak Omer sedang sibuk membaca koran di meja kasir, sedangkan Rani, anak perempuannya, berjaga di bagian belakang toko, mengepel lantai dengan musik kencang di telinganya dan bibir melengkung ke bawah, mengindikasikan kalau dia sangat tidak suka dengan yang ia lakukan. Tentu saja dia tidak suka. Ini menjelang libur musim panas. Tidak ada gadis yang bersemangat bekerja ketika semua teman-temannya bersantai-santai di pantai.
Aku memasukkan dua buah bahan pasta mentah ke dalam keranjang belanja. "Nah, Mirél, apa yang kau inginkan sekarang?"
Tidak ada jawaban. Aku menoleh ke sampingku, dan dan tersentak ketika menyadari bahwa anak laki-laki yang barusan bersamaku hilang. Pantas saja tidak ada yang menarik-narik tanganku dan berceloteh panjang! Bagus sekali. Sekarang Mirél tidak hanya jago berbuat onar, tapi juga jago menghilang. Mungkin besok aku harus memasang kalung anjing lengkap dengan rantainya supaya Mirél tidak berlarian kesana-kemari. Aku bergegas mendekati Rani, seorang anak gadis yang selalu cemberut dan bersikap terserah.
"Rani," aku menyapanya dengan suara agak keras. Rani mendongak.
"Hmm?" tanyanya.
"Apa kau melihat Mirél?"
"Siapa?" tanyanya lagi sambil membuka penyumbat telinganya yang mengeluarkan suara musik kencang.
"Mirél," ulangku.
"Oh, si bocah bawel berusia empat tahun itu?"
"Enam. Dan dia tidak bawel. Hanya ingin tahu terlalu banyak," ralatku dengan agak kesal. Ada apa sih dengan anak-anak muda jaman sekarang? Masa anak sepintar Mirél dibilang bawel? Walaupun dia memang begitu, seharusnya dia tidak mengatakannya dengan gamblang di depanku. Aku ini bibinya.
"Tuh, di sana," tukas Rani seraya menunjuk kea rah meja kasir.
Aku melongok ke arah meja kasir, dan mendengus kesal ketika melihat anak kurang kerjaan itu duduk di sana. "Terima kasih," tukasku pada Rani, yang tidak dijawabnya. Aku berjalan mendekati Mirél, dan sadar kalau anak itu tidak sedang berceloteh pada Pak Omer yang baik dan sabar, tapi pada orang lain. Lelaki yang menggunakan hoodie. Ia menaikkan tudungnya, sehingga tudung itu menutupi separuh wajahnya.
Pak Omer tersenyum padaku. "Pulang lebih awal?' tanyanya sambil mulai menghitung belanjaanku..
"Ya," jawabku. "Ini hari terakhir sekolah sebelum liburan. Jadi dipulangkan lebih awal. Apa yang sedang dibicarakannya?" tanyaku sambil menunjuk Mirél dan laki-laki itu dengan daguku.
"Rumah pohon," jawab Pak Omer seraya menghitung belanjaanku. "Seperti apa Dokter Ludo akan membuatnya? Mirél kedengaran sangat antusias. Dia membicarakannya terus. Denganku, kemudian dengan lelaki itu."
Pak Omer tahu Mirél selalu antusias selama 24 jam sehari. Jadi ketika ia mengatakan antusias, aku tahu kali ini berbeda. Mirél bicara dengan cepat dan penuh semangat, diselingi tawa yang menggemaskan ketika si laki-laki dengan hoodie menanggapi kalimatnya.
"Menurutmu memasang poster di rumah pohon keren, tidak?" tanya Mirél ceria. "Aku mau membawa peralatan pistol airku juga. Dan pistol cat warna cokelat. Itu warna kesukaan bibiku. Rumah pohonku bakal lebih besar daripada yang biasanya. Menurutmu anggota tim pramukaku yang tadi kusebutkan bakal muat di sana tanpa merobohkan pohonnya, atau aku harus mengundang mereka separuh-separuh?"
"Separuh-separuh," jawab laki-laki itu dengan nada tidak bersemangat. "Dan pasang poster!"
"Kupikir juga begitu!" pekik Mirél tertahan. Ia kelihatan sangat senang ketika laki-laki itu bicara padanya. "Bagaimana bentuk rumah pohonmu waktu kecil dulu?"
YOU ARE READING
The Wardrobe
FantasyKehidupan Samantha Ruth berubah saat ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya yang tidak pernah ia kunjungi lagi sejak kecil.